skip to Main Content
Mengukur Sahih Tudingan Nuansa Orde Baru Di Rezim Jokowi

Mengukur Sahih Tudingan Nuansa Orde Baru di Rezim Jokowi

Jakarta, CNN Indonesia — Rentetan tudingan bahwa rezim Joko Widodo identik dengan zaman Orde Baru alias Orba di era Presiden ke-2 RI Soeharto terus terdengar di momen satu tahun pemerintahannya bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Menggaung bersama aksi menolak UU Ciptaker. Unjuk rasa di jalan, hingga ada yang mengupayakan melawan di Mahkamah Konstitusi.
Tudingan rezim Jokowi bernuansa Orba sebenarnya bukan baru terdengar pertama kali di tengah demo tolak UU Ciptaker.

Tim hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pernah menyinggung soal gaya otoriter orde baru Jokowi dalam dalil permohonan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK). Pernyataan tersebut dipakai Tim Prabowo-Sandi merujuk pada pendapat Guru Besar Hukum dan Indonesianis dari Melbourne University Law School, Tim Lindsey, yang pernah menulis sebuah artikel yang berjudul, “Jokowi in Indonesia’s ‘Neo-New Order’.

Eks Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana juga pernah menyinggung gaya orba di rezim Jokowi saat mengkritisi dugaan teror pada diskusi yang diselenggarakan Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dengan topik pemberhentian presiden berujung pembatalan. Menurutnya, kejadian itu menunjukkan karakter otoritarianisme yang kembali muncul.

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan terdapat tiga indikator yang bisa mengonfirmasi ragam tudingan publik bahwa rezim Jokowi identik dengan orba.

Pertama, pembatasan kebebasan sipil. Menurutnya, hal itu bisa dilihat dari cara pemerintah merespons kritik publik, baik dari langkah mengondisikan media massa hingga mengkriminalisasi aktivis.

“Karena saya dengar media yang sengaja ditahan dalam arti membatasi pemberitaan dan sebagainya,” kata Khoirul saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Rabu (21/10).

“Kemudian, bagaimana kriminalisasi terhadap jurnalis, respons aparat terhadap masyarakat sipil mulai dari NGO, akademisi, kampus,” imbuhnya.

Dalam hal ini, lanjut Khoirul, Jokowi seperti sedang menjalankan doktrin pembangunan ekonomi yang dijalankan Soeharto dulu. Sebuah konsep politik yang menganggap ekonomi akan bertumbuh bila stabilitas ekonomi dan politik terjaga.

“Doktrin orba begitu, jadi stabilitas adalah pondasi pembangunan ekonomi, kalau politik stabil dan keamanan stabil maka pembangunan bisa berjalan,” ucapnya.

Indikator kedua, menurut Khoirul, bisa dilihat dari cara pemerintah memanfaatkan aparat penegak hukum untuk menciptakan stabilitas keamanan dan politik. Menurutnya, indikator ini telah dikonfirmasi oleh sejumlah elemen masyarakat sipil.

“Memang bias, tapi faktanya dikonfirmasi oleh teman masyarakat sipil di NGO, media, dan salah satu media massa cukup klir memberikan penjelasan itu bagaimana aparat penegak hukum dimanfaatkan,” kata Direktur Eksekutif Romeo-Strategic Research and Consulting itu.

Indikator terakhir, menurut Khoirul, terlihat dari ‘perselingkuhan’ antara kekuatan bisnis dan kekuasaan yang semakin vulgar terjadi. Menurutnya, perselingkuhan itu telah terlihat terjadi sejak pengesahan revisi UU KPK hingga pengesahan UU Minerba dan UU Ciptaker.

Berangkat dari itu, Khoirul menilai, Jokowi semakin berjarak dengan rakyat di satu tahun pemerintahannya yang kedua. Menurutnya, sikap Jokowi ini kemungkinan lahir dari cara pandang politik terkait pembangunan dan kepercayaan diri bahwa gerakan sosial masyarakat mudah dijinakkan.

“Ada proses komunikasi yang tersumbat antara lingkaran inti presiden dengan dinamika sosial-politik di tengah masyarakat,” ucapnya.

Senada, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan tudingan mengidentikkan rezim Jokowi dengan orba tidak mungkin ada jika Jokowi tidak melakukan yang dianggap publik sebagai tindakan otoriter.

Menurutnya, salah satu indikasi yang bisa mengidentikkan rezim Jokowi dengan orba adalah penangkapan sejumlah masyarakat yang mengkritik pemerintah lewat media ssial.

“Ada dasarnya tentu, tidak akan ada asap jika tidak ada api, tidak akan ada tuduhan jika itu ada fase yang dianggap dia otoriter,” ucap dia.

Ujang berpendapat bahwa situasi ini tidak aneh dan mengherankan. Berdasarkan teori filsuf Pierre Bourdieu, menurutnya, reformasi bisa berjalan tanpa mengubah kebiasaan yang pernah terjadi di masa lampau.

Berangkat dari itu, dia berkata, pemerintahan Jokowi ditantang untuk mengubah perilaku koruptif dan kesalahan era orba dalam mengelola negara.

“Kalau kita mengikuti teori Bourdieu, reformasi berjalan tapi kelakuan kebiasaan tidak berubah dari masa orba, cara korupsi, cara olah negara hampir mirip. Bahkan, menurut pandangan masyarakat ini lebih parah. Ini tantangan sendiri bagi pemerintah untuk evaluasi diri,” katanya.

Sebelumnya, secara terpisah, Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko mengibaratkan Jokowi sebagai pemimpin yang berani mengambil risiko. Salah satunya terkait dengan keputusan menggulirkan Omnibus Law Cipta Kerja yang mendapat penolakan publik yang luar.

“Seorang pemimpin harus berani mengambil risiko, seperti yang dilakukan Presiden Jokowi. Saya melihat ada dua jenis pemimpin. Pemimpin yang menikmati kemenangannya, akan takut menjadi tidak populer dengan mengorbankan kepentingan rakyatnya. Sedangkan, Presiden Jokowi memilih untuk tidak takut mengambil risiko. Mengambil jalan terjal dan menanjak,” kata Moeldoko, dalam wawancara satu tahun refleksi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, yang dibuat secara tertulis pada 17 Oktober 2020.

Sumber
CNN Indonesia

Back To Top