skip to Main Content
Tren Konsumsi Pangan Selama Pandemi Berubah, Masyarakat Pilih Yang Higienis

Tren Konsumsi Pangan selama Pandemi Berubah, Masyarakat Pilih yang Higienis

Tren Konsumsi Pangan selama Pandemi Berubah, Masyarakat Pilih yang Higienis

Sejak ditetapkannya penyebaran Covid-19 sebagai pandemi oleh WHO pada 12 Maret 2020 yang lalu, berbagai negara mulai memberlakukan lockdown. Sementara itu, pandemi Covid-19 menuntut pemerintah Indonesia untuk memberlakukan physical distancing hingga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan meminta masyarakat untuk membatasi aktivitas di luar rumah agar penyebaran virus dapat dikendalikan.

Pekerja dihimbau untuk bekerja dari rumah, sementara para pelajar dihimbau untuk belajar dari rumah secara daring. Jika diamati, situasi ini rupanya turut mengubah gaya hidup dan pola masyarakat dalam mengkonsumsi makanan. Dalam kaitan tren konsumsi pangan ini, Koran Jakarta berbincang dengan dosen Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Nafisah Eka Puteri, Rabu (3/6)

Menurut Nafisah, dengan adanya pembatasan terhadap aktivitas di luar rumah serta instruksi untuk bekerja dan belajar dari rumah, pola konsumsi dan belanja makanan pun berubah. Masyarakat sebagai konsumen sebagian besar memilih untuk membeli bahan mentah untuk dimasak di rumah ataupun membeli makanan yang dapat disimpan agar dapat dikonsumsi di rumah. Bagi konsumen yang membeli bahan mentah untuk dimasak di rumah, memasak sendiri dinilai lebih aman dan higienis karena cara pengolahannya diketahui secara pasti, tanpa ragu terjadi penyebaran virus melalui orang yang mengolah makanan.

Selain membeli bahan mentah atau makanan yang dapat disimpan, kata Nafisah, konsumen juga semakin banyak memanfaatkan jasa pesan antar atau delivery order untuk memesan makanan. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengurangi kontak fisik dengan orang lain. Maka dari itu, tidak banyak konsumen yang terlihat makan di restoran dan kafe (dine-in).

Di samping itu, sempat heboh pada awal diberitakannya pasien positif Covid-19 pertama di Indonesia, rempah seperti jahe, kunyit, temulawak, dan lengkuas menjadi incaran di pasaran. Kejadian ini dipengaruhi oleh kepopuleran empon-empon atau minuman dari rempah yang dikabarkan mampu menangkal Covid-19. “Adanya informasi dari berbagai media mengenai manfaat rempah untuk menjaga kesehatan selama masa pandemi mendorong masyarakat untuk membuat empon-empon di rumah,” kata Nafisah.

Lebih lanjut Nafisah menjelaskan, perubahan pola konsumsi dan belanja pangan rupanya juga memberi dampak lain kepada masyarakat sebagai konsumen. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengalami kenaikan berat badan selama masa pandemi. Fenomena ini rupanya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain yang melakukan pembatasan aktivitas maupun lockdown. Kenaikan berat badan ini diakibatkan oleh konsumsi yang lebih besar dibanding biasanya selama masa pembatasan. Selain itu, hal ini juga diakibatkan oleh konsumsi makanan ringan dan snack yang juga diketahui mengalami peningkatan. Konsumsi makanan ringan dan snack diduga meningkat karena stres yang muncul selama pembatasan aktivitas di luar rumah.

Peluang dan Sekalgus Tantangan

Nafisah Eka Puteri Pandemi juga mengatakan, Covid-19 memberikan dampak yang besar pada berbagai sektor, tidak terkecuali industri makanan dan minuman, baik industri pengolahan makanan dan minuman kemasan maupun restoran, kafe, dan katering. Perubahan pola konsumsi masyarakat selama pandemi melanda menjadi tantangan besar bagi industri makanan dan minuman agar dapat terus mempertahankan bisnisnya. Meskipun perubahan tren ini belum dapat dipastikan akan berlangsung selamanya atau hanya sementara, namun industri makanan dan minuman perlu bersiap diri. Para pelaku bisnis makanan dan minuman perlu beradaptasi dan berinovasi.

“Tren yang tampak saat ini ialah konsumen lebih memilih untuk membeli bahan yang dapat diolah dan dikonsumsi di rumah. Tentunya ini merupakan peluang bagi industri makanan dan minuman untuk menghadirkan produk pangan yang dapat diolah dengan mudah ataupun bertema one-dish meal. Sebagai contoh yaitu kwetiau yang dihadirkan sepaket dengan bumbu pelengkap, sayur, dan potongan ayam akan memudahkan konsumen untuk mengolahnya dibanding hanya sebagai kwetiau saja, terutama bagi konsumen yang tidak terbiasa memasak,” papar Nafisah.

Selain itu, lanjut Nafisah, di masa pandemi konsumen juga lebih memilih pelayanan take away atau delivery dibanding datang dan makan langsung (dine-in) di tempat. Situasi ini seharusnya ditanggapi dengan kreatif agar pelaku usaha tidak kehilangan konsumen. Sempat viral beberapa waktu lalu, restoran dengan brand ternama membuka gerai di pinggir jalan. Hal ini wajar saja dilakukan sebagai upaya menjangkau konsumen, mengingat konsumen berusaha membatasi kontak fisik dan lebih memilih untuk menghindari keramaian di restoran. Bukan tidak mungkin jika nantinya pandemi ini terus berlangsung dan kita “dipaksa” untuk hidup berdampingan dengan Covid-19, restoran dan kafe di masa yang akan datang akan merubah konsepnya dengan memperkecil ruangan yang sebelumnya diperuntukkan bagi konsumen untuk makan di tempat. Sementara ruangan diperkecil, baris untuk pemesanan drive-thru mungkin saja ditambah untuk melayani konsumen yang tidak ingin makan di tempat. Langkah ini dilakukan untuk menyiasati tingginya jumlah konsumen yang ingin membatasi kontak fisik.

Selanjutnya, mengenai layanan pesan antar atau delivery order, telah banyak gerai makanan dan minuman yang menawarkan jasa delivery ataupun bekerjasama dengan penyedia jasa delivery untuk mendistribusikan produknya kepada konsumen. Sudah semestinya pelaku usaha menyediakan layanan ini agar dapat tetap dijangkau oleh konsumen selama masa pandemi.

Di akhir perbincangan, nafisah memperkirakan, tidak menutup kemungkinan, pandemi Covid-19 akan menghadirkan restoran dan kafe baru dengan konsep ghost kitchen. Ghost kitchen adalah semacam dapur bersama yang diperuntukkan bagi beberapa restoran, yang tidak menyediakan fasilitas bagi konsumen untuk makan di tempat (dine-in) dan hanya menyediakan fasilitas pesan-antar (delivery). Co-working space adalah tema yang diangkat oleh ghost kitchen, dimana suatu tempat disewakan untuk lebih dari satu kantor. Konsep ghost kitchen meminimalkan biaya operasional untuk penyediaan tempat maupun perabot meja kursi, sehingga restoran atau kafe cukup berfokus pada kualitas dan higienitas atau kebersihan makanan dan minuman yang diproduksi. Selain itu, dengan konsep ini proses distribusi makanan atau minuman ke konsumen menjadi relatif lebih singkat. sur/AR-3

Sumber
KoranJakarta

Back To Top