skip to Main Content
Pengamat Nilai Revisi UU Kejaksaan Perkuat Posisi Kejaksaan Agung Sebagai ‘Dominus Litis’

Pengamat Nilai Revisi UU Kejaksaan Perkuat Posisi Kejaksaan Agung Sebagai ‘Dominus Litis’

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI telah sepakat membahas secara mendalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (RUU Kejaksaan) melalui panitia kerja (Panja).

Pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad melihat demi memperkuat posisi Kejaksaan Agung sebagai jaksa penguasa perkara atau dominus litis dalam penyelesaian perkara hukum di Indonesia, maka revisi UU Kejaksaan itu memang diperlukan.

“Bagaimana kemudian memperkuat posisi Kejaksaan Agung sebagai dominus litis dalam penyelesaian perkara hukum di Indonesia, maka dari itu harus ada penguatan yang diformulasikan dalam regulasi berbentuk undang-undang,” ujar Suparji, Rabu (2/9/2020).

Perubahan UU Kejaksaan itu diharapkan mampu memberikan perubahan ke dalam sejumlah hal.

Mulai dari memperkuat kinerja Kejagung, menumbuhkan sinergi harmoni antar lembaga penegak hukum lainnya, hingga tidak mengabaikan eksistensi lembaga penegak hukum seperti Kepolisian atau KPK.

Suparji juga melihat perubahan UU tersebut diperlukan untuk menyesuaikan terhadap perkembangan maupun perubahan mulai dari soal hukum, politik dan ekonomi atau yang lainnya.

“Salah satunya kan bahwa sekarang itu di Kejaksaan Agung ada Kejaksaan Agung Muda bidang Militer yang itu tentunya memerlukan penyesuaian atau perubahan termasuk dalam konteks regulasi dan kemudian yang kedua juga apa yang diprogramkan oleh atau menjadi kebijakan umum dari Kejaksaan Agung sekarang,” kata dia.

Namun yang terpenting, Suparji mengatakan UU Kejaksaan harus bisa menjadi semacam reformasi birokrasi dan mental bagi Korps Adhyaksa di masa mendatang.

Dia juga berharap revisi itu berdasarkan kajian-kajian objektif yang melihat kelemahan-kelemahan Kejaksaan Agung saat ini dan kemudian dapat dilakukan perbaikan-perbaikan signifikan melalui Undang-Undang tersebut.

“Jadi sebagai upaya untuk melakukan perbaikan, saya kira perlu dilakukan itu. Tapi yang penting adalah bagaimana perubahan-perubahan tadi itu membawa perbaikan secara signifikan dalam konteks Kejaksaan di masa yang akan datang,” ungkapnya.

“Ini yang harus kita antisipasi supaya memang ada pebaikan-perbaikan secara signifikan dan betul-betul mendasarkan pada sebuah kajian secara objektif melihat kelemahan-kelemahan Kejaksaan selama ini,” pungkas Suparji.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Pangeran Khairul Saleh mengungkapkan sebanyak delapan poin akan menjadi perhatian revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (RUU Kejaksaan).

Menurutnya, revisi UU Kejaksaan merupakan sebuah hal yang penting karena Indonesia telah meratifikasi sejumlah konvensi mulai dari United Nations Against Transnational Organized Crime (UNTOC) dan United Nations Conventions Against Corruption (UNCAC).

“Ketentuan tersebut menjadi alasan perubahan UU Kejaksaan, utamanya hal-hal yang berkaitan dengan independensi dalam penuntutan, akuntabilitas penanganan perkara, standar profesionalitas, dan perlindungan bagi para jaksa,” kata Pangeran, Senin (31/8).

Hal penting lain dalam revisi UU Kejaksaan adalah penguatan kedudukan jaksa dalam sistem pemerintahan. Menurutnya, karakteristik Jaksa Agung, kejaksaan, dan jaksa sebagai suatu profesi harus diwadahi dalam suatu bentuk pengaturan kepegawaian secara khusus.

Adapun secara spesifik, setidak-tidaknya ada delapan poin revisi yang dituangkan dalam Revisi UU Kejaksaan RI. Komisi III menyebut bahwa poin revisi tersebut sesuai dengan semangat penyederhanaan legislasi.

Pertama, penyempurnaan kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu yang tidak hanya terbatas pada tindak pidana korupsi, seperti tindak pidana pencucian uang, tindak pidana kehutanan, pelanggaran HAM berat, dan tindak pidana lainnya yang diatur dalam UU.

Kedua, pengaturan mengenai intelijen penegakan hukum alias intelijen yustisial yang disesuaikan UU Intelijen Negara.

Ketiga, kewenangan pengawasan barang cetakan dan multimedia yang diatur dan menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 6-13-20/PUU/VIII/2010 tanggal 13 Oktober 2010.

Keempat, pengaturan fungsi Advocaat Generaal bagi Jaksa Agung.

Kelima, penguatan sumber daya manusia Kejaksaan melalui pengembangan pendidikan di bidang profesi, akademik, keahlian, dan kedinasan.

Keenam, pengaturan kewenangan kerja sama Kejaksaan dengan lembaga penegak hukum dari negara lain, dan lembaga atau organisasi internasional.

Ketujuh, pengaturan untuk kewenangan Kejaksaan lain seperti memberikan pertimbangan dan keterangan sebagai bahan informasi dan verifikasi tentang ada atau tidaknya dugaan pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses dalam perkara pidana.

Kedelapan, penegasan peran Kejaksaan dalam menjaga keutuhan serta kedaulatan negara dan bangsa pada saat negara dalam keadaan bahaya, darurat sipil dan militer, dan dalam keadaan perang.

Sumber
Tribun

Back To Top