skip to Main Content
Vonis 2 Tahun Bui Koruptor Rp 1,6 T Dinilai Jadi Preseden Buruk Hukum

Vonis 2 Tahun Bui Koruptor Rp 1,6 T Dinilai Jadi Preseden Buruk Hukum

Jakarta – Empat pejabat Bea dan Cukai dihukum masing-masing 2 tahun penjara karena kasus korupsi impor tekstil senilai Rp 1,6 triliun. Adapun pihak swasta yang menyuap mereka divonis 3 tahun penjara.

Ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad, menganggap vonis ini akan menjadi preseden buruk terhadap perlawanan perilaku koruptif di Indonesia. Hukuman itu dinilai sulit untuk bisa memberikan efek jera.

“Hukuman itu sulit menjerakan dan akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum perkara korupsi,” kata Suparji kepada wartawan, Kamis (8/7/2021).

Suparji mempertanyakan vonis itu karena dinilai terlalu ringan. Padahal kerugian negara mencapai Rp 1,6 triliun. Belum lagi dampak penyelundupan tekstil mengakibatkan banyak pabrik di Indonesia gulung tikar sehingga ribuan buruh di-PHK.

“Akan tetapi saya juga mempertanyakan vonis tersebut, mengingat kerugian keuangan negara yang sangat besar dan dilakukan pejabat secara bersama-sama atau kolaboratif di tengah masa yang serba sulit,” tutur Suparji.

Empat pejabat itu adalah:

1. Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai (PFPC), Mokhammad Mukhlas, dihukum 2 tahun penjara.
2. Kepala Seksi Pabean dan Cukai II Bidang PFPC I, Kamaruddin Siregar, dihukum 2 tahun penjara.
3. Kepala Seksi Pabean dan Cukai III Bidang PFPC I, Dedi Aldrian, dihukum 2 tahun penjara.
4. Kepala Seksi Pabean dan Cukai III Bidang PFPC II, Hariyono Adi Wibowo, dihukum 2 tahun penjara.

Dan seorang dirut perusahaan swasta, Irianto, yang dihukum 3 tahun penjara.

“Menurut saya, vonis tidak seimbang dengan pelanggaran dan tidak sejalan dengan keadilan masyarakat. Karena tindakan bersama-sama oleh pejabat negara seharusnya menjadi faktor pemberat,” ucapnya.

Meski demikian, Suparji tetap menghormati keputusan majelis hakim. Dia mengatakan pembelaan pengacara juga patut dihargai karena merupakan hak terdakwa.

“Semua proses yang telah berlangsung hingga pada putusan hakim patut dihargai. Bahkan pembelaan penasihat hukumnya pun perlu dihargai karena itu hak yang dijamin UU,” ucap Suparji.

Dalam dakwaan, diuraikan perbuatan itu tidak menggunakan persetujuan impor tekstil sesuai dengan peruntukannya meskipun Irianto mengetahui bahwa tekstil yang diimpor tersebut adalah untuk kebutuhan proses produksi sendiri untuk diolah menjadi pakaian jadi (konveksi). Akan tetapi Irianto dengan sengaja menjual tekstil yang diimpor tersebut kepada pihak lain di Jakarta dan Bandung.

Dalam aksinya, Irianto bekerja sama dengan Mukhlas, Kamaruddin, Dedi, dan Hariyono. Lalu Irianto mengimpor tekstil melebihi jumlah yang ditentukan dalam Persetujuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil (PI-TPT). Dan sebelum tekstil impor memasuki kawasan bebas Batam (free trade zone), Irianto terlebih dahulu mengubah dan memperkecil data angka (kuantitas) yang tertera dalam dokumen packing list dengan besaran 25-30%.

“Sehingga terdakwa (Irianto) memperoleh berbagai keuntungan pada jumlah volume tekstil yang diimpor lebih banyak dari dokumen impor, dan menjadikan terdakwa memiliki tambahan alokasi kembali sejumlah 25% sampai dengan 30%,” papar jaksa.

Irianto juga mengubah data nilai harga yang tertera dalam dokumen invoice sehingga nilai invoice menjadi lebih kecil dari yang sebenarnya. Tujuannya agar bea masuk yang dibayarkan menjadi lebih kecil dari yang seharusnya.

“Dokumen invoice dan dokumen packing list tersebut kemudian dikirim kepada perusahaan pelayaran (shipping) sebagai kelengkapan untuk dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) kepada Bea dan Cukai Batam untuk mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang Luar Daerah Pabean (SPPB LDP) di kawasan bebas Batam (free trade zone),” terang jaksa.

Dalam kurun waktu 2018-2019 terdapat 9 pabrik tekstil tutup akibat kalah bersaing dengan produk impor yang banyak di Indonesia. Dampak dari pabrik tekstil domestik yang tutup tersebut maka tingkat produksi tekstil domestik yang tutup tersebut maka tingkat produksi tekstil domestik mengalami penurunan dan ribuan pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibat dari perusahaan-perusahaan tekstil yang tutup tersebut juga berpengaruh terhadap industri perbankan yang sudah memberikan fasilitas kredit kepada perusahaan-perusahaan tekstil tersebut, yang mana perusahaan-perusahaan itu tidak mampu membayar kembali pinjaman/pembiayaan yang telah diterima.

“Kerugian Perekonomian Negara sebagaimana telah diuraikan tersebut dapat dinilai secara keekonomian adalah minimum sebesar Rp 1.646.216.880.000,” demikian rincian jaksa.

“Atau setidak-tidaknya sekitar jumlah tersebut, di mana perusahaan Irianto berkontribusi 2,29% sebesar Rp 1.496.560.800.000 dan perusahaan satunya berkontribusi 0,229% sebesar Rp 149.656.080.000 dari total seluruh kerugian perekonomian negara akibat importasi tekstil secara tidak sah sebesar Rp 65,352 triliun,” pungkas jaksa.

Sumber

detik.com

Back To Top