Kasus Twitter KAI Commuter, Bukti Pentingnya Etika PR
Hakikatnya Public Relations merupakan bagian dan bentuk dari kegiatan komunikasi. Namun, komunikasi yang dilakukan oleh Public Relations memiliki perbedaan dengan aktivitas komunikasi lainnya. Public Relations harus dapat menjalin komunikasi yang dibalut dengan kemampuan merencanakan program kerja, menciptakan strategi yang bersinar, dan menjalin hubungan harmonis dengan pihak terkait. Hal tersebut pun dilandasi dengan kekuatan etika Public Relations sehingga dapat menjaga martabat serta nama baik perusahaan, bangsa, dan negaranya. Maka, diperlukannya nilai dan asas moral sebagai pegangan umum yang biasa disebut dengan etika.
Setiap profesi pasti memiliki kode etik yang berbeda dan harus ditaati oleh seluruh anggota yang bergabung dalam profesi tersebut. Pada Public Relations, kode etik disebut sebagai kode etik Public Relations atau kode etik kehumasan. Kode etik bersifat mengikat, baik secara normatif maupun sebagai kewajiban moral dalam menjalankan aktivitas kehidupannya di hadapan publik. Kode etik menjadi acuan perilaku dalam pelaksanaan peran (role) dan fungsi (function) Public Relations yang secara mutlak diterapkan.
Public Relations melaksanakan peran dan fungsinya sesuai dengan kode etik untuk menciptakan citra baik bagi dirinya (good performance image) sebagai penyandang profesional dan citra baik bagi suatu perusahaan (good corporate image) yang diwakilinya. International Public Relations Association (IPRA) menyatakan kode etik Public Relations pada konvensi Venice 1961, yang berisi bahwa Public Relations harus selalu ingat akan profesinya yang sangat berhubungan dengan publik, maka tingkah lakunya akan selalu berpengaruh terhadap penghargaan pada pelaksanaan profesinya. Menumbuhkan komunikasi moral, psikologi, dan intelektual untuk berdialog yang terbuka dan sempurna sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan orang yang berhubungan dengannya. Bertindak dalam keadaan apa pun untuk memperhatikan kepentingan pihak yang terlibat, baik kepentingan organisasi tempat ia bekerja maupun kepentingan publik yang harus dilayani.
Kini, Public Relations sedang menghadapi perubahan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat revolusioner. Praktek komunikasi Public Relations sebelum kehadiran media sosial cenderung bersifat satu arah, tetapi sekarang komunikasi harus bersifat interaktif. Hal tersebut memengaruhi cara kerja Public Relations dalam berkomunikasi dengan publiknya. Namun, dalam kenyataannya tidak semua perusahaan dan praktisi Public Relations memahami konsekuensi perubahan ini. Masih terdapat praktisi Public Relations dan perusahaan yang gagap menerima perkembangan ini.
Pada Juni 2021, media sosial sedang diramaikan dengan kasus Public Relations yang menangani twitter KAI Commuter Line membalas laporan pelecehan seksual dari khalayaknya dengan tidak beretika. Tanggapanya dinilai tidak memperhatikan hak-hak pihak lain serta tidak menghormati pendapat dan martabat orang lain. Bahkan terlihat tidak memperhatikan harga diri seseorang dan kepentingan umum. Tindakannya tidak menunjukkan rasa tanggung jawab dengan keamanan dan kenyamanan khalayaknya sehingga telah melanggar kode etik Public Relations.
Sumber: Twitter @twinklettlestar. Diakses dari https://twitter.com/twinklettlestar/status/1400863639230304257?s=21 pada hari Rabu, tanggal 9 Juni, pukul 13.15 WIB.
”BTW kejadian nya di alami sama temen Mba kan.?? Bukan sama mba nya ?? kenapa gak langsung lapor Polisi aja Mbanya.? dan kalo lapor polisi si mba nya pun harus ada bukti,” tulis akun @CommuterLine
Seharusnya Public Relations bertindak melalui pertimbangan yang matang, rasional, objektif, penuh integritas, dan tanggung jawab yang tinggi. Jika tidak, konsekuensinya adalah dapat menciptakan berita yang tidak terkontrol dan sensasional sehingga berdampak merugikan citra baik perusahaan. Berita tersebut pun menyebabkan timbulnya kontroversi dan polemik yang berkepanjangan. Public Relations harus berusaha menciptakan pola dan saluran komunikasi yang dapat memberi arus bebas informasi sehingga publik merasa bahwa mereka selalu mendapatkan informasi yang dipercaya. Serta memberikan publik suatu kesadaran akan keterlibatan pribadinya sehingga terbinanya hubungan yang solid dan harmonis.
Saat ini KAI Commuter Line sedang berada di masa krisis. Menurut the situational crisis communication theory yang digagas oleh Timothy W. Coombs dan Holladay, perusahaan harus berupaya melindungi publik dan stakeholders dari kerugian dan kerusakan daripada melindungi reputasi organisasi. Perusahan harus memperhatikan keselamatan dan keamanan publik dan stakeholders serta menjadikannya sebagai prioritas utama dalam menghadapi situasi krisis. Dapat disimpulkan bahwa saat terjadi situasi krisis langkah pertamanya adalah mengatasi akibat krisis yang menimpa para korban. Lalu bertanggung jawab dalam waktu singkat memberikan ganti rugi dan memberikan informasi yang jelas kepada korban mengenai bagaimana proses evakuasi dan kejelasan suatu masalah.
Sumber: Twitter @CommuterLine. Diakses dari https://twitter.com/commuterline/status/1401401577001283587?s=21 pada hari Rabu, tanggal 9 Juni, pukul 14.20 WIB.
Upaya lanjutan atas kasus tersebut adalah KAI Commuter Line mengunggah tweet berupa foto di akun twitter @CommuterLine bahwa pihaknya telah bertemu dan secara langsung menyampaikan permohonan maaf kepada pengguna yang mengalami pelecehan seksual di KA 1452 pada 4 Juni 2021. Tidak hanya itu, KAI Commuter Line melakukan pertemuan lanjutan dengan korban yang berlangsung di Stasiun Jatinegara pada 5 Juni 2021. KAI Commuter Line telah menyampaikan sejumlah dukungan data yang diperlukan korban untuk meneruskan laporan ke polisi. Serta berjanji untuk selalu mendampingi proses laporan ke polisi dan selalu menjalin kontak dengan korban.
Public Relations dianggap sebagai ujung tombak bagi perusahaan sehingga harus memahami kekuatan dari penerapan etika. Berusaha memberikan penerangan, kualitas terbaik, dan kontribusi positif terhadap perusahaan dan publik. Jangan jadikan kewajiban tetapi jadikan sebagai bentuk pelayanan. Kerjakan lah sesuatu dengan penuh makna, bukan hanya asal kerja!
(Alifa Aulia Fauzi – Mahasiswi Ilmu Komunikasi 2019)