Introspeksi Pendidikan Nasional: Belajar dari Tragedi Kanjuruhan
Berita sangat menyedihkan terjadi di Stadion Kanjuruhan Malang tanggal 1 Oktober 2022. Para suporter Arema banyak menjadi korban setelah mereka berhamburan dan kemudian terkena semburan gas air mata. Sungguh sangat menyedihkan. Banyak nyawa melayang akibat ketidakmampuan mengendalikan diri.
Mungkin karena beberapa suporter fanatik tidak puas dengan kekalahan, bergegas turun ke lapangan begitu peluit panjang ditiup wasit. Polisi merasa khawatir akan kejadian yang tidak diinginkan, melarang mereka turun ke lapangan. Para suporter fanatik sepertinya sulit dihalangi. Polisi akhirnya melakukan tembakan gas air mata, termasuk ke tribun. Kejadian inilah yang membuat semua penonton panik dan lari kocar kacir mencari pintu gerbang.
Dengan begitu banyaknya yang lari menuju pintu, tentu hal ini akan terjadi penyumbatan arus. Akibatnya banyak yang berjatuhan. Penuh sesak. Dan akhirnya terjadilah musibah dengan banyaknya yang meninggal. Semoga mereka husnul khatimah.
Kejadian ini bukan hal sepele. Ada sekitar 130 orang meninggal akibat kekacauan setelah pertandingan sepak bola itu. Mestinya, setelah usai pertandingan, suasana tetap tenang walaupun ada yang bersedih karena kalah. Pertandingan apapun adalah wajar bila ada yang menang dan harus ada yang kalah. Memang itulah ciri pertandingan sepak bola. Selalu ada yang menang, kalah, atau seri.
Pertandingan apapun selalu ada titipan agar permainan tanpa curang, fair play, sportif, dan menerima apapun hasilnya. Hal ini juga berlaku bagi penonton. Dilarang anarkis, tidak boleh brutal, harus tetap tenang. Bagi penonton yang menang tidak boleh senang berlebih-lebihan, euforia yang bisa mengarah ke kekacauan. Suporter yang kalah tentu juga harus mampu menerima kenyataan. Mereka harus sadar bahwa kekalahan ini bukan musibah seolah-olah akhir dari hidup. Kemampuan menerima kenyataan inilah yang sepertinya masih lemah.
Pelajaran juga bagi Polri untuk betul-betul memegang SOP. Jangan cepat-cepat mengambil tindakan represif. Apalagi dengan menggunakan gas air mata. Perlu juga dikaji ulang, apakah perlu menyediakan gas air mata untuk menjaga keamanan dan ketertiban di arena pertandingan olahraga
Kepolisian, Kementerian Pemuda dan Olahraga serta PSSI perlu menelaah secara serius hal-hal yang berkaitan dengan penjagaan keamanan, ketertiban dan kenyamanan di stadium. Antara aparat dan penonton harus sama-sama paham bahwa pertandingan harus berjalan lancar dari awal sampai akhir. Sampai para pemain dan penonton pulang ke rumah masing-masing.
Ada hal yang sangat penting dan juga perlu dipikirkan bersama adalah Sistem Pendidikan Nasional. Karena pendidikan itulah yang bertanggung jawab terhadap pembentukan karakter individu, karakter kolektif masyarakat, dan karakter bangsa. Bila negara ini ingin maju secara jangka panjang yang harus dibangun adalah karakter warga negaranya. Jadi bukan sekedar membangun kepandaiannya saja. Ada pepatah bangunlah kehidupan, maka ekonomi akan ikut.
Saya teringat ketika Prof. Yohanes Surya membina siswa siswi dari daerah tertinggal di Papua. Untuk menguasai dan mengoperasikan matematika dasar itu cukup 3-6 bulan saja. Tetapi membina karakter dasar itu perlu 8 tahun. Bahkan untuk mengantri saja perlu waktu lebih dari 6 tahun. Artinya, membangun karakter perlu kesabaran, latihan terus menerus, dan ekosistem sekitarnya harus mendukung. Guru jangan hanya mengajar, tetapi juga harus mendidik.
Karakter dasar apa saja yang diperlukan sejak kecil? Diantaranya adalah kemampuan kerjasama, kolaborasi antar sesama teman satu kelompok dan beda kelompok, kemampuan menerima keadaan tanpa iri hati dengan orang lain. Kemampuan menerima kemenangan dan kekalahan. Sifat dan jiwa sportif harus dibangun sejak PAUD dan terus dipupuk selama pendidikan. Karakter sabar, penolong, kemampuan menerima kenyataan dan tetap optimis itu sangat penting dalam pendidikan.
Pertandingan atau perlombaan itu ada dua tipe, yakni perlombaan terbatas (finite game) dan perlombaan tak terbatas (infinite game). Pertandingan terbatas seperti dalam olahraga, ada peraturan yang jelas termasuk status menang kalah sebuah pertandingan, serta durasinya. Semua ini harus dipahami sehingga pemain dan penonton taat pada “rule of the game”. Tidak ada dalam pertandingan yang waktunya tidak terbatas. Bila pertandingan itu tidak boleh seri, tentu ada perpanjangan waktu sampai adu penalti. Semua itu harus dihormati. Sehingga ketika grupnya kalah, mungkin bersedih, tetapi tidak boleh anarkis.
Adapun “infinite game” (perlombaan tak terbatas) adalah kehidupan itu sendiri. Itu pun ada regulasinya. Tidak bisa kita hidup sembarangan semaunya sendiri, tanpa menghiraukan orang lain. Kita memang perlu kebebasan, tetapi kebebasan kita juga dibatasi oleh kebebasan orang lain, jadi harus saling respek. Dan kita harus paham, bahwa dalam perlombaan jenis ini rivalnya adalah diri kita sendiri, alias hawa nafsu. Itu pun harus dilatih. Karena memang perang yang paling berat itu adalah perang melawan dirinya sendiri (al hadits).
Pendidikan harus mampu memahami “finite dan infinite game.” Sepertinya pendidikan karakter kita, pemahaman makna kompetisi, perlombaan terbatas, perlombaan tak terbatas alias kehidupan itu sendiri kurang diberikan dalam persekolahan kita. Kita mungkin terlalu terburu-buru pada kompetensi keras (hard competency) dan kurang memperhatikan soft competency. Akhirnya nilai-nilai kemanusiaan kita lemah.
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) – Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)
Sumber