skip to Main Content
Masalah Nebeng Pesawat Teman 

Masalah nebeng pesawat teman 

Masalah nebeng pesawat teman 

Thafhan Muwaffaq 

Dalam tulisan ini saya mendiskusikan pernyataan klarifikasi Kaesang tentang dugaan gratifikasi jet pribadi yang muncul belum lama ini 1. Kaesang berinisiatif mengklarifikasi setelah absen selama beberapa waktu—sampai-sampai membuat khawatir sejumlah pihak 2. Adalah pengetahuan umum bahwa klarifikasi Kaesang menimbulkan kontroversi (respon negative). Sebagai contoh, beredar rilisan poling yang menyugestikan ketidaksetujuan dominan terhadap penggunaan kata nebeng3 

 Kurang lebih begini bunyi klarifikasi Kaesang: 

 “[…] perjalanan saya pada 18 Agustus ke Amerika Serikat yang numpang, atau bahasa bekennya nebenglah. Nebeng pesawatnya temen saya.” 4. 

Inti klarifikasi terpusat pada kata kerja nebeng. Menggunakan kata itu Kaesang menjelaskan perjalanannya bukanlah gratifikasi. Melalui kata itu Kaesang menerangkan peristiwa yang dia alami tidak sama dengan dugaan gratifikasi. Nebeng melibatkan Kaesang, teman Kaesang, pesawat pribadi, dan perjalanan ke Amerika Serikat secara langsung ke dalam peristiwa yang diduga gratifikasi.  

Saya memandang kata tersebut justru memperkeruh ketimbang menjernihkan. Ini karena kata nebeng yang diutarakan Kaesang tidak berterima dengan pemahaman (atau pemaknaan) khalayak. Dan, sosok Kaesang sebagai anak presiden tidak bisa lepas dari dirinya Ketika menyatakan klarifikasi. Skeptisisme atau nyinyiran timbul sebagai konsekuensi dari ketidak-berterimaan khalayak atas dua hal itu. Setelah ini saya akan coba memperjelas bagaimana terusiknya keberterimaan itu dari segi proses pemaknaan. 

Ensiklopedia makna dan semantik bingkai nebeng pesawat teman 

Salah satu prinsip semantik kognitif adalah makna bersifat ensiklopedik. Ini artinya seorang pengguna bahasa memiliki jaringan wawasan yang dapat dianalogikan sebagai ensiklopedia di dalam pikirannya. Pemaknaan suatu kata, tak terkecuali kata nebeng, merujuk ensiklopedia wawasan yang diperoleh melalui pengalaman hidup. Pemaknaan bahasa adalah pemahaman yang merujuk ensiklopedia wawasan. 

Ensiklopedia wawasan menyediakan kemungkinan-kemungkinan rujukan yang mengaitkan ekspresi bahasa dengan ide di dalam pikiran dan hal di realitas. Bingkai semantik adalah istilah untuk menyebut hubungan antara suatu ekspresi dengan ensiklopedia wawasan yang kita punya 5,6. Ini mengkonsekuensikan setidaknya dua hal. Pertama, makna kata mampu melampaui definisi kamus yang bersifat konvensional7. Kedua, makna kata mengekspresikan pengalaman dan wawasan yang bersifat mental secara terstruktur 

Sekarang, mari kembali ke pernyataan klarifikasi Kaesang. Saya kira permasalahan utamanya adalah  pernyataan nebeng pesawat teman menyatakan suatu peristiwa yang tidak (atau belum) pernah ada dalam wawasan ensiklopedik khalayak. Ketiadaan wawasan itu sesederhana karena khalayak belum pernah mengalaminya. Terlepas dari definisi kamus, pengetahuan khalayak tentang nebeng boleh jadi tidak ada yang melibatkan pesawat pribadi sebagai transportasi. Kekosongan wawasan itu membuat khalayak sulit menerima atau mempercayai pernyataan Kaesang sebagai benar. Maka wajar jadinya klarifikasi itu justru menuai kernyitan dan cibiran ketimbang penerimaan.  

Pernyataan klarifikasi Kaesang dapat disederhanakan seperti pada (1). Sementara (2) mengilustrasikan pembingkaian semantik yang diaktifkan oleh kata kerja nebeng. Sebagai inti struktur kalimat, kata kerja nebeng terhubung dengan unsur-unsur kalimat lainnya yaitu subjek (Kaesang), objek (pesawat temannya), dan keterangan tempat (Amerika Serikat). Dan, yang menarik dari keterhubungan kata dalam bingkai semantik ini adalah: hubungan teman Kaesang dengan Kaesang dalam pernyataan (1) dapat dipahami sebagai pemberi tebengan meski tidak tertera pada kalimat.  

  1. Kaesang nebeng pesawat temannya ke Amerika Serikat 
  1. KaesangPENEBENG nebeng pesawat temannyaTRANSPORTASI_TEBENGAN ke Amerika SerikatTUJUAN 

Pembingkaian ini sangat mungkin terjadi dalam pemaknaan khalayak sehingga mereka merespon secara negatif. Kalau dugaan saya benar, selain ide nebeng pesawat teman adalah hal yang baru sama ekali, struktur konsep dalam pembingkaian semantik (2) mengekspresikan Kaesang sebagai penerima sesuatu. Pembingkaian itu menghubungkan Kaesang dan Teman Kaesang sebagai penerima tebengan dan pemberi tebengan. Dalam penalaran ini pesawat teman sebagai tebengan adalah sesuatu yang diberikan (pemberian). Tapi perlu saya tegaskan, yang diberikan bukanlah pesawatnya tapi kebisaan Kaesang mengakses pesawat itu sebagai penebeng kendaraan pribadi temannya. 

Ensiklopedia wawasan memampukan kita untuk mengelompokkan ide atau konsep yang sama. Ketika hubungan Kaesang dengan Teman Kaesang terkonseptualisasikan sebagai penerima tebengan dan pemberi tebengan, maka sangat mungkin konsep tersebut dipahami sebagai sama dengan beneficiary (penerima keuntungan) dan benefactor (pemberi keuntungan). Kalau ini yang mendasari skeptisisme khalayak, maka respon tersebut adalah suatu hal yang sangat beralasan. Dalam kata lain, penyebab kontroversi yang dari ekspresi berkesan sederhana (yaitu: nebeng) kelihatannya menempuh pemaknaan yang tidak sesederhana itu. 

Klarifikasi sebagai tindakan ilokusioner (pernyataan berintensi) 

Mari berlaku adil. Ketiadaan wawasan dalam benak khalayak tidak serta-merta menggagalkan kebenaran dari suatu pernyataan—tidak terkecuali pernyataan Kaesang. Namun, ketidaktahuan khalayak bukanlah sumber masalah di sini. Sebaliknya, justru Kaesang bertanggung jawab untuk mendidik khalayak yang skeptis bahwa menumpang jet pribadi lazim bagi orang-orang tertentu: Kaesang dan temannya adalah contoh orang-orang tertentu.  

Saya kira khalayak dapat menyepakati bahwa tidak sembarang orang punya teman yang punya jet pribadi untuk ditumpangi. Tapi, saya yakin, khalayak yang skeptis akan bungkam seandainya Kaesang bisa menerangkan jumlah orang-orang yang sama sepertinya. Dengan cara itu wawasan ensiklopedik khalayak dapat terisi dengan kejadian-kejadian nebeng pesawat pribadi lain, sehingga nebengnya Kaesang tidak lagi suatu kelangkaan. Kalau itu Kaesang sudah lakukan dan nyatanya kemudian orang-orang masih saja skeptis, maka permasalahan ada pada kebebalan khalayak. Bukan Kaesang. 

Seseorang dapat mempertanyakan pemikiran saya barusan: kenapa ketidaktahuan khalayak harus membebani tanggung jawab Kaesang?  

Lagi-lagi ini berkenaan dengan prinsip penggunaan dan pemaknaan bahasa. Kaesang bertanggung jawab karena pernyataannya mengklaim sesuatu sebagai kebenaran. Pernyataan semacam itu mempercontohkan tindakan ilokusioner—pernyataan berintensi—jenis asertif8. Setiap pernyataan asertif sepatutnya mematuhi aturan-aturan makna bahasa secara konsep (semantik) maupun secara kontekstual (pragmatik). Aturan-aturan itu adalah (i) aturan esensial (komitmen kebenaran pemberi pernyatan atas pernyataan), (ii) aturan kesiapan (komitmen pemberi pernyataan atas ketersediaan bukti, (iii) pernyataan bukan sesuatu yang sudah jelas kebenarannya, dan (iv) aturan keyakinan (komitmen pemberi pernyataan terhadap keyakinan atas kebenaran pernyataannya). Mendidik ketidaktahuan khalayak tentang kelaziman nebeng pesawat teman adalah pemenuhan komitmen-komitmen tersebut. 

Tentu komitmen-komitmen itu bisa saja Kaesang abaikan. Konsekuensi paling keras adalah pernyataan klarifikasi menjadi lemah; komitmen Kaesang terhadap kebenaran ucapannya sendiri jadi mudah diragukan; sosoknya sebagai pemberi pernyataan jadi mengesankan sembarang bicara dan kehilangan kredibilitas. Sederhananya, ucapan Kaesang jadi tidak bisa dipercaya karena tidak mengandung kebenaran.  

Klarifikasi sebagai genre berparameter 

Saya perlu menekankan bahwa prinsip tindak ilokusioner tidaklah diskriminatif terhadap ketokohan. Artinya, berlakunya hal yang saya sampaikan di atas bukan karena Kaesang adalah Kaesang yang kita ketahui. Sebetulnya hal itu berlaku umum. Tapi kalau kita memperlakukan klarifikasi sebagai suatu genre berparameter, ketokohan atau peran sosial Kaesang sebagai pengklarifikasi menjadi pertimbangan penting yang berdampak terhadap penerimaan khalayak.  

Genre atau jenis teks muncul sebagai hasil dinamika sosial dan struktur intrinsik teks itu sendiri, yang kemudian dapat dideskripsikan berdasarkan sejumlah parameter 9. Salah satu parameter teks adalah peran sosial: cara seseorang mewujudkan dirinya sebagai pembuat teks. Berita palsu, misalnya, diargumentasikan sebagai hasil respon sosial yang produksinya menggunakan ekspresi bahasa serupa berita konvensional dengan intensi menyesatkan pembaca10. Penulis berita palsu mengambil peran sosial sebagai penyebar berita non-institusional agar lepas dari tanggung jawab memastikan kebenaran. Di lain hal, pemberi label berita palsu mengambil peran sebagai institusi kredibel agar penetapannya diakui. 

Kerangka berpikir barusan dapat diterapkan untuk meninjau klarifikasi Kaesang. Klarifikasi tersebut muncul sebagai respon terhadap keadaan yang diwacanakan dan diduga sebagai penerimaan gratifikasi.  Dugaan itu muncul karena peran sosial yang melekat dengan identitas seorang Kaesang sebagai anak presiden. Dan, sedikit-banyak dugaan boleh jadi hal itu pula yang mendorong inisiatif Kaesang membuat pernyataan klarifikasi. Poin yang ingin saya ilustrasikan adalah klarifikasi Kaesang merupakan pernyataan serius yang kemunculannya dipengaruhi dinamika sosial. Oleh karena itu peran sosial anak presiden tampaknya tidak bisa lepas dari Kaesang ketika menyatakan klarifikasi.  

Peran sosial anak presiden menyematkan institusi presidensial sehingga penerimaan khalayak tidak akan melihat pernyataan klarifikasi atas nama pribadi. Dalam kata lain, khalayak memiliki ekspektasi yang bersifat normatif dalam mengantisipasi pernyataan klarifikasi Kaesang. Ekspektasi ini menyiapkan pikiran khalayak tentang bagaimana individu yang merupakan bagian dari institusi presidensial seharusnya berlaku. Dengan penolakan yang timbul setelahnya, khalayak tampaknya tidak memandang nebeng pesawat teman memuaskan ekspektasi itu. Selain karena ide nebeng pesawat teman sangat taklazim (baca: baru), ide tersebut juga tidak berterima dengan ekspektasi khalayak tentang keluarga presiden. 

Penejelasan saya berimplikasi dugaan bahwa nebeng adalah sesuatu yang jauh dari keluarga presiden. Bahkan, boleh jadi hal itu adalah sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan. Bagaimanapun, khalayak akan belajar dari klarifikasi yang sudah Kaesang utarakan: seorang anak presiden bisa menebeng kendaraan (pesawat) temannya. Itu suatu kejadian yang sedemikian sama dengan seseorang bisa menebeng kendaraan temannya—entah itu motor, mobil, pesawat, getek, atau mungkin saja kapal pesiar atau apapun.   

Skema nebeng pesawat teman 

Pengalaman pemaknaan kita terhadap hal-hal umum, lazim, atau berulang akan menyusun abstraksi. Abstraksi atas keberulangan ini disebut sebagai skema 11–15. Saya mengira kontroversi yang muncul sebagai respon klarifikasi Kaesang juga bersinggungan dengan skema dari nebeng. Gambar di bawah ini adalah introspeksi saya terhadap skema nebeng 

Gambar sebelah kiri mengilustrasikan skema perjalanan Kaesang dan teman Kaesang. Masing-masing memiliki trayektori perjalanan menuju tujuan yang terbilang sama, yaitu Amerika Serikat. Keduanya menempuh perjalanan dengan moda transportasinya masing-masing. Gambar sebelah kanan adalah ilustrasi dari nebeng pesawat teman. Saya kira penggambaran ini sesuai dengan keterangan juru bicara Kaesang, bahwa kesamaan tujuan membuat keduanya pergi bersama naik pesawat pribadi (pesawat teman Kaesang). Maka, trayektori perjalanan Kaesang menjadi bergabung dengan perjalanan temannya. 

Persoalan dari skema nebeng ini ada pada bagaimana hal itu bisa terjadi. Seperti yang diilustrasikan, perpindahan Kaesang dari transportasi umum ke transportasi pribadi tentu butuh kesediaan pemilik transportasi pribadi, yaitu teman Kaesang. Tanpa kesediaan pemilik transportasi pribadi, maka seseorang tidak akan bisa menjadi penebeng dan justru menjadi penumpang gelap.  

Dalam penalaran saya, sebagaimana yang mungkin dialami khalayak tentang pertebengan, setidak-tidaknya ada dua kemungkinan yang membuat nebeng terjadi. Pertama, ada tawaran dari pemilik transportasi pribadi (teman Kaesang) kepada Kaesang. Kedua, ada permintaan dari Kaesang kepada temannya agar boleh menebeng. Tawaran nebeng adalah gestur baik yang umum dalam pertemanan. Permintaan nebeng juga adalah suatu ekspresi yang lazim dilakukan seorang teman. Dan, kesamaan tujuan adalah alasan yang membuat seorang teman menawarkan atau meminta tebengan. 

Penyebab munculya kontroversi dari khalayak mungkin karena klarifikasi Kaesang ataupun juru bicaranya tidak menjelaskan hal yang saya sampaikan. Di samping itu khalayak bisa saja skeptis karena penebeng/penumpang dapat dipahami sebagai pihak yang diuntungkan. Terserah tebengannya diperoleh melalui tawaran atau permintaan, tapi setidak-tidaknya penebeng/penumpang tidak menanggung beban transportasi.  

Meski begitu, lazim dalam kehidupan sosial kita penebeng memberi imbalan kepada pemberi tebengan misalnya melalui urunan bensin atau semacamnya. Ini semua adalah kemungkinan-kemungkinan berkonsekuensi logis dari pemaknaan nebeng pesawat teman. Dan, fakta kejadian adalah satu-satunya hal yang dapat membuat pernyataan itu sebagai benar adanya. Masalahnya, sepertinya fakta yang terungkap ke muka khalayak belum cukup. 

Salah satu contoh keburaman fakta adalah beredarnya wacana bahwa teman Kaesang tidak ikut16. Tanpa perlu disebutkan, saya tidak tertarik membicarakan gosip. Akan tetapi, kalau wacana yang beredar itu benar adanya, fakta tersebut membuat pernyataan klarifikasi Kaesang menjadi tidak benar. Dan, kata-kata juru bicara Kaesang bahwa “Kebetulan ada temannya yang juga berangkatnya searah…” dapat diklasifikasikan sebagai fabrikasi 17 . Kalau benar pemberi tebengan tidak ikut, artinya yang dikatakan teman berangkat searah tidak pernah ada.  

 Kategorisasi Nebeng dan gratifikasi 

Saya telah jelaskan di bagian sebelum ini bahwa dugaan gratifikasi merupakan dinamika soial yang berperan memunculkan pernyataan klarifikasi Kaesang—meski pernyataan itu didasari inisiatifnya. Telah juga saya jelaskan bagaimana pernyataan tersebut memicu kontroversi khalayak. Di titik ini saya akan mengutarakan introspeksi saya mengenai kecocokan nebeng pesawat teman dengan gratifikasi dari sebagai kategori konsep-konsep yang berbeda. 

Pencocokan makna konseptual bahasa (semantik) pada esensinya mengoperasikan proses berpikir yang berlaku sehari-hari: kategorisasi 18,19. Ini berarti bahwa pengelompokkan nebeng dengan gratifikasi secara kategorisasi akan mengintrospeksikan apakah keduanya berbeda sama sekali atau sebaliknya. Proses kategorisasi ini tidak berbeda dari proses berpikir ketika kita menyamakan atau membedakan satu hal dengan yang lainnya. Ketika ada kecocokan di antara kedua konsep tersebut (yaitu: “nebeng” dan “gratifikasi”), maka kita menganggap satu hal sebagai bagian dari yang lain. Sederhananya, kategorisasi dapat menerangkan apakah suatu hal mempercontohkan kategori dari konsep tertentu. 

Kategorisasi dapat mengilustrasikan hubungan antara konsep. Suatu konsep yang merupakan bagian dari kategori tertentu dapat menjadi eksemplar (prototip) atau contoh representatif suatu kategori. Suatu konsep juga tetap merupakan anggota suatu kategori walaupun fitur-fitur yang ada tidak begitu mempercontohkan kategori tersebut (bukan prototip). Biasanya konsep yang bukan prototip berada di ambang batas kategori yang beririsan dengan kategori dari konsep lain.  

Sebagai ilustrasi, terdapat rilisan hasil penelitian yang sangat mencerahkan tentang prototip “korupsi” secara konseptual oleh sekelompok linguis 20. Temuan mereka adalah pemerolehan imbalan secara tidak sah mempercontohkan prototip dari korupsi secara konseptual. Di samping itu, mereka menemukan terdapat contoh-contoh yang kurang mencirikan konsep korupsi (kurang prototipikal), yaitu: penyalahgunaan wewenang yang menghasilkan imbalan, niat korupsi dalam memperoleh imbalan tidak sah, dan pemerolehan imbalan yang tak disadari sebagai korupsi.  

Hal pertama yang perlu saya tekankan adalah nebeng dan gratifikasi berbeda secara konseptual. Sementara nebeng merupakan konsep aksi atau tindakan, gratifikasi adalah objek. Saya memproposisikan nebeng memiliki konsep prototipikal (percontohan) berupa situasi yang melibatkan (i) pengemudi dan penumpang; dengan (ii) perjalanan yang trayektorinya meliputi titik berangkat dan tujuan sama; (iii) menaiki transportasi berupa (biasanya) mobil atau motor; (iv) atas penawaran pengemudi yang disetujui penumpang; (v) dengan intensi pengemudi menawarkan bantuan kepada penumpang.   

Kejadian Kaesang pergi ke Amerika Serikat nebeng pesawat teman kelihatannya bermasalah karena jet pribadi yang menjadi transportasi mereka merupakan sesuatu hal yang kurang prototipikal (tidak biasa). Namun pengubahan status teman Kaesang yang bukan pilot (pengemudi) pesawat adalah hal yang masih lazim. Maksud saya, ketika transportasi tebengan adalah mobil pribadi yang dikemudikan supir, pemberi tebengan juga bukan pengemudi melainkan pemilik kendaraan. Jika transportasi tebengan adalah taksi, maka pemberi tebengan menjadi penyewa kendaraan. Intinya adalah, pengubahan peran tersebut masih mempercontohkan konsep nebeng sebagai prototip.  

Lalu bagaimana dengan Kaesang nebeng pesawat teman yang tidak ikut?  

Terlepas dari kebenaran desas-desus ini, hal itu masih mempercontohkan nebeng pada taraf yang sangat jauh dari prototipnya. Dalam kata lain, keeadaan tersebut merupakan ambiguitas antara contoh nebeng dengan disewakan, disediakan, atau dipinjamkan.  Tapi perlu saya tekankan, hanya karena sesuatu berada di batas kateogori suatu konsep, bukan berarti hal tersebut kehilangan keanggotaannya di dalam kategori konsepnya. Seseorang bisa saja nebeng kendaraan bersupir (pengemudi bukan pemilik) tanpa pemiliknya ikut serta dalam perjalanan.  

Namun kalau memang begitu kejadiannya dalam persoalan Kaesang nebeng pesawat teman, konsekuensinya adalah tuntutan informasi pengkontekstualisasi kejadian perlu betul-betul jelas. Tanpa perlu disebutkan, tuntutan ini diperlukan untuk memuaskan penalaran terhadap konsep nebeng. Bukan karena kecurigaan atau praduga. Saya bisa membayangkan beberapa kemungkinan sebagai contoh pengkontekstualisasi: Bisa saja Teman Kaesang terpaksa batal karena alasan atau halangan apapun, atau bisa saja hal ini sesederhana kebiasaan orang-orang dari kalangan tertentu (mislanya: kalangan berpesawat pribadi). Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan itu, kontekstualisasi yang muncul sebagai klarifikasi Kaesang belum terbangun. 

Di samping persoalan peran individu-individu yang terlibat dan jenis transportasi, trayektori perjalanan juga memiliki variabilitas. Prototip perjalanan yang menjelaskan nebeng adalah adanya kesamaan titik berangkat dan titik tujuan. Tetapi, seseorang bisa saja nebeng temannya dari titik berangkat sama tapi titik tujuan berbeda. Sebaliknya, seseorang bisa juga nebeng karena memiliki titik tujuan sama walaupun titik berangkat berbeda. Bahkan seseorang masih bisa dikatakan nebeng sekalipun titik berangkat dan titik tujuan berbeda. Skenario paling terakhir ini masih mempercontohkan nebeng selama pemilik kendaraan dengan penebeng punya kesamaan trayektori atau rute perjalanan. 

Kategori konseptual kesepakatan dan intensionalitas nebeng juga belum terjelaskan. Padahal kedua hal ini adalah keterangan kunci bagi penalaran terhadap pernyataan klarifikasi Kaesang. Dengan adanya keterangan terhadap hal-hal tersebut, penalaran nebeng secara kategorisasi bisa menyeluruh. Tidak adanya keterangan itu meninggalkan kekosongan yang kemudian dapat dengan mudah diisi oleh skeptisisme. Skeptisisme yang muncul adalah hasil penalaran terhadap informasi parsial. Ini mengimplikasikan Kaesang sebagai pembuat pernyataan klarifikasi adalah pihak yang dapat melengkapinya.  

Berdasarkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi berarti pemberian atas dasar perolehan layanan atau manfaat. Gratifikasi dalam pandangan hukum adalah pemberian kepada orang tertentu sebagai tindakan usaha mempengaruhi atau mendapat keuntungan. Pasal 12B Undang-Undang 21 2001 menjelaskan gratifikasi sebagai: “Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.” 21 

Gratifikasi sebagai kategori suatu objek adalah hal hasil tindakan memberi sesuatu kepada seseorang tertentu, dengan intensi agar memperoleh keuntungan atau pengaruh yang mendatangkan keuntungan. Formulasi Pasal 12B Undang-Undang 21 2001 meluaskan sesuatu sebagai pemberian, sehingga hal tersebut bisa berarti apapun yang bersifat material maupun non-material. Di atas, saya telah mengemukakan bahwa tebengan adalah objek pemberian. Ini mengkonsekuensikan secara logis bahwa hal itu bisa menjadi sesuatu yang masuk ke dalam pemberian, terlepas dari anggapan apakah material atau sebaliknya. Tapi, saya tidak bisa serta-merta mengkategorisasikan tebengan yang Kaesang dapat dari temannya sebagai ke dalam konsep gratifikasi. Masih ada fitur kriterial lain yang perlu diperhatikan di sini. 

Fitur kriterial gratifikasi lain yang penting di sini setidaknya ada dua hal. Pertama, apakah Kaesang sebagai penerima tebengan adalah seseorang yang dapat mendatangkan sang pemberi suatu keuntungan atau pengaruh yang mendatangkan keuntungan. Kedua, apakah intensionalitas dalam tindakan memberi tebengan didasari keinginan untuk mendapat timbal balik berupa keuntungan-keuntungan tadi. Sisi ini masih gelap dalam pernyataan Kaesang maupun penjelasan juru bicaranya.  

Hal yang beredar saat ini adalah bahwa tebengan untuk Kaesang diberikan karena kesamaan tujuan perjalanan yang diketahui temannya—sang pemilik pesawat. Tapi, apakah Kaesang mendapat tebengan itu karena pertemanan atau karena dia anak presiden? Ini belum ada penjelasannya. Kemudian, apakah pemberian tebengan itu dimotivasi keinginan memperoleh keuntungan yang Kaesang bisa sediakan, khususnya dari peran sosialnya sebagai anak presiden? Ini juga masih belum sepenuhnya tercerahkan.  

Di atas itu semua, saya perlu menyadari sesuatu tentang gratifikasi secara kategorisasi. Contoh prototip gratifikasi dapat kita bayangkan sebagai tindakan resiprokal atau bertimbal-balik. Namun, timbal balik ini belum tentu tersurat. Dan, terjadinya tindakan memberi dalam gratifikasi kemungkinan besar hanya terjadi kepada orang dengan peran tertentu.  

Kelihatannya khalayak saat ini sudah terlanjur mempersepsikan Kaesang dan Teman Kaesang sebagai sosok signifikan atau sosok berperan sosial yang berpengaruh: anak presiden dan pebisnis. Ini mungkin pencetus kepahitan skeptisisme yang mendera Kaesang. Untungnya, persepsi atas realitas bukanlah realitas itu sendiri—dengan demikian, pembuktian yang menggagalkan fitur kriterial gratifikasi akan membenarkan klarifikasi yang Kaesang nyatakan—secara makna bahasa. 

Kalau bukan nebeng, lalu apa? 

Pemaparan-pemaparan sebelum ini seharusnya dapat mengilustrasikan problematika pernyataan klarifikasi Kaesang. Saya ingin menyimulasikan bagaimana konsekuensi penalaran makna yang akan terjadi apabila Kaesang menggunakan kata-kata selain nebeng. Dalam benak saya terdapat sejumlah kata, yaitu: ajak, ikut, patungan, pinjam, dan pakai. Semua kata-kata alternatif itu tentu saja dapat diintrospeksikan dalam cara yang sama seperti nebeng. Tapi, dalam pandangan saya kata-kata tersebut mampu mengubah penalaran khalayak dalam cara yang berbeda dari nebeng. Untuk itu, saya akan memaparkan bagaimana kemungkinan pemaknaan terhadap kata-kata tersebut satu per satu secara introspektif. 

Kata ajak adalah prakategorial dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Artinya, konvensi bahasa Indonesia menetapkan kata tersebut sebagai kata dasar yang tidak tergunakan dan tidak termaknakan. Imbuhan terhadap kata tersebut (misal: diajak/mengajak) membangunkan makna dalam kandungan kata itu. Wawasan tentang ajak berkenaan dengan seseorang yang secara terang-terangan mempersilakan orang lain untuk melakukan aktivitas bersama.  

Saya mengusulkan diajak sebagai kata yang lebih tidak problematik untuk digunakan dalam klarifikasi Kaesang. Imbuhan di- dalam gramatika Indonesia menyematkan suara pasif, sehingga memposisikan objek sebagai pengalam dari suatu aksi sebagai subjek kalimat22. Ekspresi (3) menyugestikan pembingkaian semantik yang berbeda dari (2). 

  1. Kaesang/sayaPENERIMA_AJAKAN diajak naik pesawat temanAKTIVITAS_AJAKAN ke Amerika SerikatTUJUAN_AJAKAN. 

Perbedaan pertama antara (2) dan (3) adalah peran antara Kaesang dengan temannya (yaitu: penerima ajakan dan pemberi ajakan). Cermati bahwa hal yang diberikan tidak lagi tebengan tetapi ajakan. Konsekuensi penalaran terhadap ekspresi ini adalah, setidak-tidaknya: ide naik pesawat sudah bukan lagi menjadi hal yang dapat dipersoalkan. Perbedaan lainnya adalah ide naik pesawat temannya dalam ekspresi (3) tidak lagi menjadi transportasi tebengan menuju tujuan, tetapi aktivitas ajakan 

Tentu tidak ada garansi ekpresi ini akan berterima tanpa skeptisisme sama sekali. Namun, ini saja sudah sangat mungkin menghilangkan permasalahan ide nebeng pesawat teman. Walaupun pengalaman diajak naik pesawat teman masih tergolong eksklusif bagi khalayak, tetapi hal itu masih punya kemungkinan lebih tinggi untuk berterima ketimbang nebeng pesawat teman. Lagipula, kejadian ajak-mengajak boleh jadi lebih lazim dalam pertemanan (kalaulah memang karena itu alasannya).  

Kata lain sebagai pengganti nebeng adalah ikut. Ekspresi (4) merupakan simulasi pernyataan klarifikasi Kaesang menggunakan kata tersebut. Ekspresi (4) tentu sangat mungkin dikritisi, khususnya terkait sebab-musabab dari ikutnya Kaesang.  

  1. Kaesang/sayaPENGIKUT ikut pesawat temanTRANSPORTASI_DIIKUTI ke Amerika SerikatTUJUAN 

Saya dapat membayangkan kata ikut akan meminta pertanyaan yang kurang-lebih sama dengan kata yang sudah dibahas: apa penyebab Kaesang ikut pesawat teman ke Amerika Serikat? Alasan yang sama bisa menjawab pertanyaan itu: bahwa ada hubungan pertemanan dan kesamaan tujuan. Tapi, ikut pesawat teman jelas-jelas tidak mengemukakan pemaknaan yang sama seperti nebeng pesawat teman 

Kata ikut menghubungkan Kaesang/saya sebagai pengikut, sementara Teman Kaesang orang yang diikuti. Ini mungkin saja mengimplikasikan semacam kelebihan kapabilitas pada teman kaesang, karena umumnya sosok yang diikuti adalah sosok dengan signifikansi tertentu. Sebaliknya, seorang pengikut adalah sosok yang merasa perlu mengikuti orang karena signifikansi orang itu, entah apapun itu signifikansinya. Berbeda dari (3), ekspresi kalimat aktif menyematkan peran agentif pada Kaesang. Kaesang dapat dipahami sebagai orang yang berinisiatif mengikuti temannya. Sampai di sini, implikasi penalaran terhadap ekspresi ikut kelihatannya justru lebih rumit. Maka, ekspresi ini sudah sepatutnya dihindari. 

Ekspresi (5) dan (6) merupakan kata kerja yang menyatakan aksi. Penalaran terhadap (5) dan (6) dapat mengkonseptualisasikan adanya kesetaraan antara peran Kaesang dan Teman Kaesang. Peran Kaesang dan Teman Kaesang adalah antara pembersama dengan dibersamai pada ekspresi (5). Saya menganggap kata kerja bersama ekuivalen dengan bareng (verba cakapan/dialek menurut KBBI). Ekspresi ini masih menyatakan Kaesang sebagai inisiator yang merealisasikan kejadian pembersamaan dalam perjalanan ke Amerika Serikat.   

Implikasi yang ditemukan pada (4) mungkin masih bisa disinggung oleh penalaran kritis terhadap kata itu. Akan tetapi, potensi skeptisisme yang ditimbulkan oleh canggungnya wawasan ensiklopedik khalayak terhadap kejadian yang diekspresikan boleh jadi lebih minim. 

  1. Kaesang/sayaPEMBERSAMA bersama/bareng pesawat temanTRANSPORTASI_DIBERSAMAI ke Amerika SerikatTUJUAN 
  1. Kaesang/sayaPIHAK_PATUNGAN patungan pesawat temanTRANSPORTASI_PATUNGAN ke Amerika SerikatTUJUAN 

Berbeda dari (5), ekspresi (6) memposisikan Kaesang dengan Teman Kaesang sebagai kolektif yang berbuat sesuatu tindakan bersama, yaitu patungan. Masing-masing peran dapat dipahami sebagai pihak yang sama-sama mengeluarkan sumber daya untuk merealisasikan pesawat teman—dalam hal ini membingkai transportasi patungan. Tentu ada kejanggalan dalam hal ini patungan pesawat teman karena aksi kolektif itu seringkali dilakukan untuk merealisasikan objek yang bukan milik masing-masing. Tetapi, lazim juga dalam individu kolektif yang terhubung pertemanan untuk patungan dalam arti: yang bukan pemilik transportasi membayarkan bensin atau semacamnya, sementara patungan sang pemilik adalah penyediaan transportasi.   

Konsekuensi penalaran terhadap (6) adalah ide transaksional yang bersifat ekonomik. Kendati demikian, ini menghilangkan konsep pemberian sama sekali dari ekspresi kejadian. Konsekuensi lainnya, kemungkinan besar, adalah kesan eksklusifisme secara wawasan ensiklopedik: bahwa Kaesang dan Teman Kaesang terkesan sebagai segelintir orang yang melakukan patungan pesawat. Di samping itu, kata patungan secara ensiklopedik terhubung dengan kapasitas ekonomi. Hal ini dapat membuka celah kritik terhadap Kaesang, khususnya tentang sumber kemampuan ekonominya yang kemudian dapat dikait-kaitkan dengan gratifikasi. Tapi, pembuktian bahwa tidak ada kejanggalan yang mencocokkan kejadian itu dengan gratifikasi akan menetralisir skeptisisme yang timbul.  

Sampai di sini, saya kira dapat tergambarkan setiap kata berkonsekuensi penalaran makna. Walaupun konsekuensi penalaran dapat memberi pemaknaan berbeda, setiap kemungkinan kata di atas tampaknya tidak dapat menghindari kritisisme dan skeptisisme khalayak (yang menimbulkan pertanyaan dan dugaan gratifikasi). Ini meninggalkan kesimpulan bahwa penggunaan kata apapun  dalam klarifikasi Kaesang berpotensi menimbulkan respon negatif.   

Di titik ini, saya menghubungkan Kembali peran sosial yang tersemat pada diri Kaesang sebagai pembuat pernyataan. Klarifikasi itu problematik sesederhana karena peran sosial Kaesang. Kaesang tentu bisa memperjelas titik-titik buram yang muncul dari pernyataan klarifikasinya, seraya membuktikan dirinya tidak menerima gratifikasi. Kalau memang peran sosial adalah faktor utamanya, saya kira ada cara yang lebih efektif untuk seluruh kekisruhan ini (khususnya di masa depan). Cara yang saya maksud yaitu: tidak berurusan dengan orang lain untuk kepentingan pribadi selama menyandang peran sosial yang signifikan.  

Daftar Pustaka 

1. Muncul Isu Kaesang Nebeng Jet Pribadi tapi Temannya Tak Ikut, Ini Respons PSI. https://news.detik.com/berita/d-7545763/muncul-isu-kaesang-nebeng-jet-pribadi-tapi-temannya-tak-ikut-ini-respons-psi. 

2. Misteri “Hilangnya” Kaesang yang Sampai Diadukan ke Polda, Akhirnya Muncul di Kantor PSI Halaman all – Kompas.com. https://megapolitan.kompas.com/read/2024/09/05/07204031/misteri-hilangnya-kaesang-yang-sampai-diadukan-ke-polda-akhirnya-muncul?page=all#google_vignette. 

3. 89,77% Pembaca kumparan Nilai Kaesang Tak Tepat Pakai Kata “Nebeng” Private Jet | kumparan.com. https://kumparan.com/kumparannews/89-77-pembaca-kumparan-nilai-kaesang-tak-tepat-pakai-kata-nebeng-private-jet-23arwD6NIyG. 

4. Kaesang Klarifikasi Soal Jet Pribadi, Katanya Hanya “Nebeng” Pesawat Temannya! – YouTube. https://www.youtube.com/watch?v=RhAma_nzMEo. 

5. Fillmore, C. J. Fillmore – Frame Semantics.pdf. Preprint at (1982). 

6. Lakoff, G. Don’t Think of an Elephant! Know Your Values and Frame the Debate. (Chelsea Green Publishing Company, 2004). 

7. Zulkarnen & Muwaffaq, T. Dictionary Meaning vs. Encyclopaedic Meaning of Halal: Comparing Meaning in Dictionaries with Frame Semantics for The Sake of Conceptual Understanding. in 2ND ISIE (International Symposium of Islamic Epistemology) 95–104 (UAI Press, 2018). 

8. Searle, J. R. The Logical Status of Fictional Discourse. New Lit Hist 6, 319 (2006). 

9. Ostergaard, S. & Bundgaard, P. The Double Feedback Loop and the Parameter Theory of Text Genres. Cognitive Semiotics 8, 97–127 (2015). 

10. Muwaffaq, T., Lusi, &, Piantari, L., Bahasa, S. & Kebudayaan, D. MENGINTROSPEKSIKAN KEMUNCULAN DAN SIFAT ALAMI BERITA PALSU SEBAGAI GENRE DENGAN PARAMETER TEKSTUAL: PEMROSESAN TEKS SEMIOTIKA KOGNITIF (Introspecting the Emergence and Nature of Fake News as A Genre with Textual Parameter: Cognitive Semiotics Text Processing). SAWERIGADING 28, 247–274 (2022). 

11. Johnson, M. The Body in the Mind: The Bodily Basis of Meaning, Imagination, and Reason. (University of Chicago Press, 2013). 

12. Lakoff, G. & Johnson, M. Metaphors We Live By. (University of Chicago Press, 1980). 

13. Lakoff, G. & Johnson, M. Philosophy in The Flesh The Embodied Mind and Its Challenge to Western Thought. (Basic Books, 1999). 

14. Mandler, J. M. Thought before language. Trends Cogn Sci 8, 508–513 (2004). 

15. Mandler, J. M. How to build a baby: II. Conceptual primitives. Psychol Rev 99, 587–604 (1992). 

16. Teman Kaesang yang Beri Tumpangan Jet Pribadi ke AS Tidak Ikut, Netizen: Baik Banget – Seleb Tempo.co. https://seleb.tempo.co/read/1917365/teman-kaesang-yang-beri-tumpangan-jet-pribadi-ke-as-tidak-ikut-netizen-baik-banget. 

17. Profil Pahala Nainggolan & Klarifikasi Kaesang Soal Jet Pribadi. https://tirto.id/siapa-pahala-nainggolan-kpk-yang-klarifikasi-jet-pribadi-kaesang-g3QN. 

18. Lakoff, G. Women, Fire, and Dangerous Things: What Categories Reveal about the Mind. The University of Chicago Press (1987). doi:10.1525/ae.1988.15.4.02a00410. 

19. Talmy, L. Toward a Cognitive Semantics: Vol 1 Concept Structuring Systems. (Massachusetts Institute of Technology, 2000). 

20. Zakiyah, M., Fiaji, N. A. & Zulvarina, P. Semantik Prototipe Korupsi: Kajian Linguistik Kognitif. RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya 11, 164 (2018). 

21. Gratifikasi: Definisi, Larangan, Dasar Hukum, dan Sanksi – KlikLegal. https://kliklegal.com/gratifikasi-definisi-larangan-dasar-hukum-dan-sanksi/. 

22. Muwaffaq, T. & Visiaty, A. Sifat Alami Gramatika Indonesia: Sistem Partikel Linguistik, Fungsi Penataan Konseptual, dan Representasi Kognitif. Ranah: Jurnal Kajian Bahasa 12, 1 (2023). 

 

 

 

Back To Top