Writer : Kuncoro Hadi

Editor : UJANG SUNDA

Di satu sisi, dunia bergegas menuju masa depan yang lebih hijau, menjanjikan langit yang lebih bersih, dan iklim yang stabil melalui transisi energi. Namun di sisi lain, jalan menuju masa depan itu tidak lurus. Berliku, penuh dengan paradoks dan persaingan geopolitik yang sengit. Pergeseran dari ekonomi yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil (fuel-intensive) ke ekonomi yang padat material (material-intensive) telah menjadikan mineral kritis seperti nikel, kobalt, dan litium sebagai komoditas strategis utama abad ke-21. Ironisnya, alih-alih meredam ketegangan, transisi yang seharusnya membawa harmoni ini justru memicu “krisis ganda”: kerentanan rantai pasok dan risiko sosial-lingkungan yang memburuk, sebuah realitas yang kini harus dinavigasi dengan sangat hati-hati oleh negara-negara seperti Indonesia.

Mineral-mineral ini bukan sekadar komoditas biasa. Mineral-mineral adalah tulang punggung dari setiap teknologi energi bersih. Dari panel surya di atap rumah hingga motor listrik pada kendaraan. Laporan dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan betapa cepatnya perubahan ini. Proyeksi mereka menyebutkan bahwa permintaan global terhadap mineral untuk teknologi energi bersih diperkirakan melonjak hampir tiga kali lipat pada tahun 2030 dan bahkan empat kali lipat pada tahun 2040 dalam skenario Nol Emisi Bersih (Net Zero Emissions/NZE).

Asian Development Bank (ADB) bahkan memproyeksikan lonjakan yang lebih drastis, hingga 3,6 kali lipat dalam skenario NZE 2050. Lonjakan permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini membutuhkan investasi masif, diperkirakan akan ada kebutuhan untuk membuka sekitar 50 tambang litium baru, 60 tambang nikel, dan 17 tambang kobalt baru di seluruh dunia untuk memenuhi permintaan tersebut.

Dalam lanskap yang berubah ini, Indonesia berada pada posisi strategis yang tak tertandingi. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 72 juta ton menurut data U.S. Geological Survey, Indonesia telah menjadi pemain kunci yang mengendalikan hampir 60% produksi nikel global. Posisi ini semakin diperkuat oleh kebijakan hilirisasi mineral yang diterapkan pemerintah.

Keberhasilan kebijakan ini diakui secara luas. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pernah menyoroti, “Nilai ekspor nikel pada 2017-2018 dihitung sebesar 4 miliar dolar AS. Pascahilirisasi, nilainya naik berkali lipat jadi 30 miliar dolar AS”. Kenaikan nilai yang signifikan ini menjadi bukti nyata bahwa hilirisasi telah mengubah Indonesia dari sekadar pengekspor bijih mentah menjadi pemain utama dalam rantai pasok global.

Namun, dominasi ini datang dengan risiko geopolitik yang signifikan. Rantai pasok mineral kritis dicirikan oleh konsentrasi geografis yang ekstrem, baik pada tahap penambangan maupun pemurnian. Data IEA menunjukkan bahwa rata-rata pangsa pasar tiga negara teratas untuk pemurnian mineral (tembaga, litium, nikel, kobalt, grafit, dan unsur tanah jarang) naik menjadi 86% pada tahun 2024, dari sekitar 82% pada tahun 2020. Hampir seluruh pertumbuhan pasokan dari satu pemasok teratas, yaitu China untuk sebagian besar mineral dan Indonesia untuk nikel.

Ketergantungan ini memicu persaingan geopolitik yang panas, terutama antara Amerika Serikat dan China. Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID, Dilo Seno Widagdo, menegaskan bahwa sebagai pemain utama, Indonesia harus memiliki manajemen tata kelola yang baik dan bahkan berpotensi mengendalikan pasokan global. “Kita juga perlu kontrol suplai dunia, apalagi kita pemain utama dalam supply chain di dunia,” jelas Dilo.

Ketergantungan pada satu mitra investasi juga menimbulkan tantangan besar. Meskipun investasi dari China telah menjadi kunci bagi keberhasilan hilirisasi nikel di Indonesia, dominasi mereka dalam kapasitas pemurnian menciptakan risiko strategis baru. Perusahaan-perusahaan China kini mengendalikan lebih dari 75% kapasitas pemurnian nikel di Indonesia dan mendominasi kawasan industri utama seperti Morowali dan Weda Bay.

Volatilitas pasar juga menjadi ancaman, dengan investasi yang melambat tajam menjadi hanya 5% pada tahun 2024, turun dari 14% pada tahun 2023, yang berpotensi menciptakan hambatan pasokan di masa depan. Kasus bangkrutnya perusahaan induk smelter nikel PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) di China yang mengakibatkan penurunan produksi di Indonesia menunjukkan kerentanan ini secara jelas. Pabrik GNI, yang memiliki kapasitas masukan bijih nikel 21,6 juta ton per tahun, nyaris lumpuh, menyoroti perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap stabilitas investasi asing.

Selain tantangan ekonomi dan geopolitik, aspek lingkungan dan sosial menjadi isu krusial yang tidak bisa diabaikan. Laporan dari EY dan BBC menyoroti bahwa pertambangan nikel, khususnya di Indonesia, menimbulkan ancaman lingkungan yang signifikan. Masyarakat lokal, seperti masyarakat Bajo, menyaksikan langsung dampak pencemaran dan kerusakan lingkungan yang mengancam cara hidup mereka sebagai nelayan. Kegagalan dalam mengatasi masalah ini dapat memberikan amunisi bagi negara-negara lain untuk menerapkan hambatan perdagangan non-tarif, seperti Carbon Border Adjusted Mechanism (CBAM) dari Uni Eropa, yang akan mengenakan biaya tambahan pada produk impor dengan jejak karbon tinggi. Ini menuntut Indonesia untuk tidak hanya memproses mineral di dalam negeri, tetapi juga memastikan bahwa seluruh proses dilakukan dengan cara yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (green mining).

Jalan ke depan tidak mudah. Keberlanjutan peran Indonesia sebagai pemain mineral kritis global akan sangat bergantung pada kemampuan untuk menavigasi “trilema” (ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan) yang kompleks ini. Diperlukan terobosan-terobosan baru yang konstruktif untuk mengatasi tantangan yang ada.

Pertama, Indonesia harus mengoptimalkan diplomasi mineralnya untuk secara proaktif membangun aliansi strategis dengan berbagai negara, seperti yang telah dijajaki dengan Inggris melalui penandatanganan MoU dan negosiasi yang sedang berlangsung dengan Amerika Serikat. Langkah ini sangat penting untuk mendiversifikasi mitra investasi dan mengurangi ketergantungan pada satu pihak, demi membangun rantai pasok yang lebih tangguh.

Kedua, investasi pada inovasi domestik, terutama riset dan pengembangan (R&D) untuk teknologi pemrosesan yang lebih efisien dan ramah lingkungan, harus menjadi prioritas utama. Ini bukan hanya tentang efisiensi operasional, tetapi juga prasyarat untuk memenuhi standar global yang semakin ketat dan menghadapi hambatan non-tarif di masa depan.

Ketiga, penguatan kerangka hukum dan pengawasan yang ketat sangat penting untuk memastikan praktik pertambangan yang bertanggung jawab dan transparan, termasuk penegakan sanksi tegas bagi pelanggar lingkungan. Dengan mengadopsi langkah-langkah strategis ini, Indonesia dapat mengubah kekayaan mineralnya menjadi pilar kedaulatan ekonomi yang berkelanjutan, memantapkan posisinya sebagai pemimpin dalam transisi energi global, dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Sumber : rm.id