Di balik megahnya gerbang perguruan tinggi, tersembunyi sebuah dilema fundamental. Institusi ini adalah benteng idealisme, tempat Tri Dharma (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat) menjunjung tinggi keunggulan dan pencarian kebenaran mutlak. Namun, di saat yang sama, ia adalah sebuah entitas kompleks yang harus bertahan dan berkembang dalam realitas ekonomi yang keras, menuntut efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi finansial. Posisi rektor, sebagai pemimpin tertinggi, berada tepat di episentrum dualitas ini. Ia adalah nakhoda yang harus menavigasi kapal di antara dua arus yang seringkali berlawanan: arus aspirasi akademik yang tak terbatas dan arus keterbatasan anggaran yang nyata.
Tanggung jawab rektor sangat luas, meliputi seluruh aspek operasional universitas, mulai dari merumuskan kebijakan hingga mengelola kekayaan institusi dan membina seluruh sivitas akademika. Rektor berfungsi sebagai poros sentral, tempat seluruh informasi dari unit kerja, baik akademik maupun keuangan, berkumpul untuk diolah menjadi keputusan strategis. Keputusan ini bukan sekadar urusan internal; Rektor memiliki akuntabilitas ganda, baik kepada pihak internal maupun eksternal, termasuk yayasan, kementerian dan badan penyelenggara. Seni kepemimpinan sejati terletak pada kemampuan untuk mengintegrasikan kebutuhan yang beragam menjadi satu kesatuan strategi yang kohesif dan efektif, di mana setiap kebijakan yang diambil harus seimbang demi kemajuan institusi.
Perdebatan di Balik Dinding Rektorat: Akademik vs Keuangan
Perbedaan prioritas antara Direktorat Akademik dan Direktorat Keuangan menjadi sumber ketegangan yang inheren dalam struktur perguruan tinggi. Direktorat Akademik, yang menjadi jantung operasional, bertanggung jawab atas penjaminan mutu dan pelaksanaan Tri Dharma. Tugasnya mencakup segala hal, mulai dari layanan pendidikan, pengelolaan data mahasiswa, pengembangan kurikulum inovatif untuk Kampus Berdampak, hingga persiapan akreditasi institusi. Fokusnya adalah menghasilkan lulusan yang kompeten, meningkatkan kualitas penelitian, dan menaikkan reputasi institusi di kancah global. Upaya untuk mencapai tujuan ini seringkali memerlukan investasi besar.
Salah satu contoh paling nyata adalah kebutuhan untuk meningkatkan kualifikasi tenaga pendidik. Rektor berupaya untuk mengirim mereka studi lanjut ke jenjang doktoral memerlukan alokasi anggaran yang signifikan. Demikian pula, untuk mencapai akreditasi internasional dan meningkatkan peringkat universitas, diperlukan dana besar untuk penelitian dan kolaborasi global. Rektor menyoroti hal ini dengan menyatakan bahwa akreditasi internasional “berdampak baik sekali karena standar pendidikan dan lulusan ter-upgradeĀ menjadi standar internasional”.
Di sisi lain, Direktorat Keuangan memegang peran sebagai penjaga gawang sumber daya institusi. Mereka bertanggung jawab atas seluruh siklus keuangan, dari perencanaan anggaran (RAPB), pencatatan transaksi, pengawasan pengeluaran, hingga pelaporan dan persiapan audit. Tujuannya adalah memastikan pengelolaan dana dilakukan dengan cermat, transparan, efisien, dan akuntabel untuk mendukung seluruh kegiatan kampus.
Namun, tugas ini tidak mudah. Tantangan operasional yang sering dihadapi adalah pencatatan transaksi yang kurang rapi dan kurangnya kontrol keuangan, yang dapat menghambat proses audit dan merusak kepercayaan pemangku kepentingan. Dalam hal ini, prinsip efisiensi dari sisi keuangan sering berhadapan langsung dengan kebutuhan investasi besar yang diajukan oleh sisi akademik. Permintaan pendanaan untuk riset mahal, pengadaan peralatan laboratorium, atau biaya akreditasi internasional langsung berbenturan dengan keterbatasan anggaran dan desakan untuk tidak menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Perdebatan ini diperparah oleh faktor eksternal, khususnya kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Salah satu fondasi perguruan tinggi adalah penelitian. Jika anggarannya dikurangi drastis, kualitas pendidikan pasti terdampak. Situasi ini menempatkan rektor di posisi dilematis: menaikkan UKT untuk menutupi kekurangan dana riset, yang berpotensi memicu ketidakpuasan mahasiswa, atau mengorbankan kualitas riset dan pendidikan.
Jalan Menuju Kemandirian
Menghadapi tensi yang tak terhindarkan ini, rektor tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan manajerial tradisional. Kepemimpinan harus bergerak menuju visi transformasional dan kolaboratif, yang berfokus pada pembangunan budaya yang solid dan visi bersama di seluruh lapisan sivitas akademika. Kuncinya adalah mengubah cara pandang, di mana akademik dan keuangan tidak lagi dilihat sebagai lawan, tetapi sebagai mitra yang saling mendukung.
Salah satu solusi paling menjanjikan adalah merangkul konsep Enterprising University. Ini adalah sebuah model ketika perguruan tinggi tidak hanya menjadi tempat untuk mencari ilmu, tetapi juga menjadi pencipta nilai ekonomi. Rektor harus secara proaktif mendorong diversifikasi sumber pendanaan, mengurangi ketergantungan pada dana pemerintah dan UKT. Ini dapat dicapai melalui kemitraan strategis dengan sektor industri, alumni, atau lembaga eksternal yang memberikan dana hibah kompetitif. Pendekatan ini menciptakan sinergi, di mana riset yang dilakukan universitas menjadi relevan dan dibutuhkan oleh pasar.
Selain itu, promosi kewirausahaan akademik menjadi esensial. Universitas harus bergeser dari sekadar mencetak lulusan pencari kerja menjadi lulusan pencipta lapangan kerja. Ini diwujudkan melalui kurikulum yang mengintegrasikan kreativitas, inovasi, dan manajemen keuangan, serta pembentukan inkubator bisnis yang menjembatani ide-ide mahasiswa dengan realitas pasar. Inkubator ini tidak hanya menghasilkan perusahaan rintisan (spin-off), tetapi juga memperkuat jejaring dengan investor, menciptakan ekosistem inovasi yang dinamis.
Dari sisi operasional, transformasi digital juga menawarkan solusi praktis. Dengan mengadopsi sistem manajemen berbasis cloud, perguruan tinggi dapat secara signifikan mengurangi biaya operasional dan administrasi, yang pada gilirannya membebaskan dana untuk dialokasikan kembali ke kegiatan akademik inti. Rektor IPB University, misalnya, menegaskan bahwa perguruan tinggi harus mampu memanfaatkan kecerdasan buatan demi kemajuan pendidikan.
Terakhir, sinergi antara Direktorat Akademik dan Keuangan harus diperkuat melalui tata kelola yang transparan dan mekanisme koordinasi yang terstruktur. Peraturan internal dan prosedur operasional yang jelas, seperti Peraturan Rektor tentang Pengelolaan Dana, sangat penting untuk memastikan setiap rupiah digunakan secara tertib, efisien, dan akuntabel. Rapat koordinasi reguler yang melibatkan Rektor, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Keuangan menjadi krusial untuk memastikan bahwa setiap keputusan anggaran selaras dengan tujuan strategis institusi.
Pada akhirnya, “seni memimpin Perguruan Tinggi” adalah tentang kemampuan rektor untuk menjadi seorang “grand strategist” yang mampu melihat institusi secara holistik. Rektor harus menumbuhkan keyakinan bahwa investasi pada kualitas akademik adalah investasi jangka panjang yang akan mendatangkan reputasi, dan pada gilirannya, keberlanjutan finansial. Bukan tentang memilih salah satu, melainkan tentang menyatukan keduanya menjadi satu visi yang kuat dan berdaya.
Ditulis oleh : Dr. Kuncoro Hadi, S.T., M.Si., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI).
Sumber : rm.id