Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Prof. Dr. Widodo Muktiyo, mengisi Kuliah Subuh di Masjid Agung Al Azhar pada Sabtu, 6 Desember 2025 dengan tema “Peningkatan Komunikasi di Era Digital Secara Islami.” Kuliah Subuh ini dilaksanakan untuk meningkatkan literasi digital dan etika komunikasi umat Islam di tengah perubahan teknologi yang cepat.
Kuliah umum dibuka dengan pernyataan komunikasi adalah sunatullah yang melekat dalam kehidupan manusia. “Masalahnya bukan apakah kita berkomunikasi atau tidak, tetapi apakah komunikasi kita sudah sesuai tujuan atau belum,” ujar Rektor UAI. Esensi komunikasi menurut beliau terletak dalam diri setiap orang, dan komunikasi itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi juga dapat melalui media sosial bahkan metaverse.
Era digital menghadirkan dunia baru yang mengubah pola interaksi manusia. “Dulu kita hidup dalam social reality, sekarang hadir virtual reality. Pertanyaannya, umat Islam sudah sampai di mana dalam menguasai ilmu komunikasi?”ucap Rektor. Struktur komunikasi menurut Prof. Widodo itu seperti piramida, yang dimulai dari intrapersonal, dyadic communication, small group, organisasi, hingga komunikasi massa, yang kini semakin kompleks karena hadirnya ruang digital.
Efektivitas komunikasi sangat dipengaruhi oleh kredibilitas komunikator serta kesesuaian pesan, media, dan audiens. “Jangan buru-buru menyalahkan orang lain kalau pesan kita tidak diterima. Bisa jadi pesannya tidak mengena atau cara menyampaikannya belum tepat,” jelas Rektor. Pendekatan dakwah juga harus menyesuaikan segmentasi dan platform, terutama karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah generasi muda
Meski Islam menjadi agama mayoritas, kualitas komunikasi umat Islam masih perlu diperkuat. Prof. Widodo membayangkan kebangkitan umat dapat terwujud ketika teknologi digital dimanfaatkan secara masif, terintegrasi, dan tidak terjebak pada perbedaan-perbedaan kecil.
Pola komunikasi di era digital berubah cepat. Dari yang dulu satu ke banyak (one-to-many) seperti ceramah, kini berkembang menjadi one-to-one seperti chat pribadi, one-to-many melalui unggahan konten kreator, hingga many-to-many dalam diskusi di media sosial. Perubahan ini membuat arus informasi semakin cepat dan kompetitif. Di era post-truth, pihak yang berpengaruh adalah mereka yang mampu membangun narasi yang kuat.
Prinsip komunikasi Islami juga dikaitkan dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Ada lima kaidah penting yang diterapkan. Pertama, Qaul Layyinan (Q.S. Thaha: 44) menekankan ucapan yang lembut. Kedua, Qaul Maysuran (Q.S. Al-Isra: 28) mengajarkan ucapan yang memudahkan. Ketiga, Qaul Ma’rufan (Q.S. An-Nisa: 5) menuntun pada ucapan yang baik. Keempat, Qaul Balighan (Q.S. An-Nisa: 63) menekankan ucapan yang efektif dan menyentuh. Kelima, Qaul Sadidan (Q.S. An-Nisa: 9) menegaskan ucapan yang benar dan tepat.
Rektor mendorong generasi muda untuk tidak hanya mempelajari ilmu agama, tetapi juga kemampuan konten kreatif agar dapat menyebarkan syiar Islam secara modern. Empat kecakapan digital yang perlu dikuasai adalah digital skill, digital safety, digital ethics, dan digital culture. Kecerdasan digital harus dilatih agar mampu menghadapi tantangan informasi, menjaga privasi, berpikir kritis, dan memahami literasi data.
Menutup kuliah subuh, Rektor UAI mengajak jamaah meneladani sifat Rasulullah, yaitu shidiq (berkata jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (komunikatif), dan fathonah (cerdas), dalam berkomunikasi di era digital. “Mari menanam rumput-rumput hijau nilai Islam di dunia digital agar menutup ilalang hoaks dan fake news,” tutup beliau.





