Saat ini, Perguruan Tinggi Swasta (PTS) 4.0 harus berenang di lautan teknologi Revolusi Industri 4.0, di mana kecerdasan buatan (AI) dan data besar (Big Data) menjadi kompas utama. Namun, medan pertarungan sesungguhnya bukanlah soal siapa yang paling canggih, melainkan siapa yang paling memahami psikologi Generasi Z.

Di sinilah pertentangan muncul: Gen Z, generasi yang lahir dan tumbuh bersama gawai, secara mengejutkan memiliki rentang perhatian rata-rata hanya delapan detik —jauh lebih singkat dari dibandingkan Millennial, Deb (2022). Mereka menginginkan kepuasan instan dan hiburan yang cepat (entertainment).

Namun, di sisi lain, mereka adalah konsumen yang paling hati-hati dan kritis; 74,3% dari mereka mengaku wajib melakukan riset mendalam sebelum membuat keputusan besar, termasuk memilih kampus.

Kontradiksi inilah yang menjadi tantangan utama pemasaran digital saat ini: bagaimana mengubah sebuah konten Edutainment (edukasi berbalut hiburan) yang viral dan menarik dalam waktu singkat menjadi pendorong tingkat konversi (Conversion Rate atau CR) yang didasarkan pada kepercayaan dan validasi yang mendalam. Menemukan jembatan antara video pendek di media sosial dan komitmen pendaftaran yang membutuhkan riset berbulan-bulan adalah kunci keberlanjutan PTS di masa depan.

Transformasi PTS menuju era 4.0 bukan hanya tren, melainkan tuntutan yang diamanatkan dalam kebijakan nasional. Konsep PTS 4.0 didukung oleh empat pilar utama, termasuk efisiensi penggunaan sumber daya dan Kepemimpinan yang memotivasi komunitas kampus. Arah strategis ini diperkuat dengan kebijakan Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka, yang menuntut pendidikan tinggi untuk menjadi fleksibel dan berinteraksi dengan dinamika industri.

Kebijakan ini memberikan keleluasaan bagi mahasiswa untuk “mendapatkan ilmu, pengetahuan, dan ketrampilan dari sumber” yang beragam, yang sangat cocok dengan Gen Z yang cenderung ingin belajar mandiri (self-learner). Fleksibilitas ini harus diimbangi integritas.

Mutu pendidikan tinggi harus transparan dan terbuka untuk diakses masyarakat, di mana PD Dikti berfungsi sebagai pangkalan data utama. PTS yang mengelola data internalnya dengan efisien (misalnya, melalui sistem terintegrasi yang menjamin akurasi dan efisiensi operasional), secara otomatis memperkuat klaim autentik dalam pemasaran eksternal.

Artinya, Edutainment yang jujur harus mampu menyajikan fakta-fakta kualitas ini dalam kemasan yang mudah dicerna, mengubah janji manis menjadi bukti kredibel. Model pemasaran tradisional AIDA —yang membayangkan calon mahasiswa berjalan lurus dari tahap Sadar (Awareness), minat (Interest), keinginan (Desire), hingga Mendaftar (Action) —telah dianggap usang.

Perilaku Gen Z telah “menghancurkan corong” (shattered the funnel) karena mereka tidak bergerak selangkah demi selangkah. Ketergantungan mereka pada media sosial, validasi dari teman sebaya, dan tren yang bergerak cepat menyebabkan tahap penemuan, pertimbangan, dan pendaftaran sering tumpang tindih atau berulang dalam siklus yang dinamis.

Platform seperti TikTok dan YouTube kini menjadi pusat pengalaman mereka, di mana penemuan sebuah institusi bisa terjadi dalam hitungan jam, didorong oleh satu konten viral. Gen Z menggunakan platform ini bukan hanya untuk hiburan, tetapi sebagai mesin pencari yang penting untuk validasi komunitas, mencari informasi yang ringkas, visual, dan memungkinkan mereka belajar sesuai kecepatan sendiri.

Jadi, tugas pemasaran telah bergeser: bukan lagi memindahkan prospek dari satu tahap ke tahap berikutnya, melainkan “membanjiri” ruang budaya yang mereka tinggali dengan sinyal-sinyal autentik yang kuat, sehingga keputusan pendaftaran menjadi langkah yang natural.

Meskipun strategi Edutainment telah berhasil dalam menarik perhatian Gen Z, terdapat titik sumbat (bottleneck) kritis dalam alur konversi yang harus dianalisis secara mendalam. Banyak PTS hanya berfokus pada volume tontonan atau likes, gagal menyadari bahwa Tingkat Keterlibatan (Engagement Rate atau ER) yang tinggi di media sosial tidak secara otomatis menghasilkan Tingkat Konversi (Conversion Rate atau CR) yang tinggi menuju situs web.

Sebagai contoh, Tingkat Keterlibatan influencer di Indonesia tergolong tinggi, rata-rata mencapai 4.62% di Instagram. Namun, Tingkat Konversi langsung dari platform seperti TikTok ke situs web (website CR) untuk sektor pendidikan dilaporkan rendah, rata-rata hanya sekitar 0.7%.

Fenomena ini menunjukkan adanya kegagalan di tahap Exploration & Research: Gen Z senang melihat konten lucu dan menghibur, tetapi mereka tidak terdorong untuk mengklik tautan keluar atau mengisi formulir karena konten itu tidak menyajikan informasi fungsional yang cukup bernilai.

Kritiknya adalah Edutainment yang diproduksi seringkali terlalu banyak entertainment dan terlalu sedikit edu. Hal ini sama berbahayanya dengan metode ceramah konvensional yang bertele-tele, di mana peserta didik hanya dapat mengingat 20% dari materi pembelajaran di akhir sesi.

Strategi Edutainment yang efektif harus mampu memecah subjek yang kompleks menjadi format yang ringkas dan interaktif, memastikan bahwa nilai edukatif yang disajikan dalam kemasan hiburan dapat meningkatkan retensi informasi institusional, bukan sekadar view count.

Mengukur Niat Otentik dengan Indeks Minat Otentik

Evaluasi metrik konversi di sektor pendidikan tinggi memberikan pandangan optimis sekaligus tantangan. Tingkat konversi Lead to Marketing Qualified Lead yaitu rasio prospek yang berubah menjadi prospek berkualitas yang sudah tertarik serius—tergolong sangat kuat, mencapai rata-rata 45%.

Angka ini membuktikan bahwa prospek yang berhasil disaring adalah prospek yang berkualitas tinggi. Namun, masalah utamanya adalah bagaimana menghasilkan volume prospek berkualitas ini dari lautan konten media sosial.

Untuk itu, penulis mengusulkan konsep baru dalam proses penambahan mahasiswa baru: Indeks Minat Otentik (IMO). IMO mengukur volume dan kedalaman pencarian nama merek atau program studi PTS di mesin pencari (seperti TikTok Search atau Google) segera setelah calon mahasiswa terpapar konten Edutainment.

Karena Gen Z terbiasa menggunakan media sosial sebagai mesin riset, peningkatan pencarian bermerek adalah indikator paling autentik bahwa konten Edutainment telah memicu rasa ingin tahu yang mendalam dan mengubah views menjadi intent yang terukur.

Dengan menjadikan peningkatan IMO sebagai KPI utama, institusi mengubah fokus dari sekadar mengejar likes menjadi mengejar niat otentik, yang pada akhirnya akan memaksimalkan Tingkat Konversi Pendaftaran (Enrollment Conversion Rate atau ECR) yang berkisar antara 20% hingga 50%.

Keberhasilan Edutainment dalam menopang Indeks Minat Otentik (IMO) sangat bergantung pada dua elemen: kepercayaan dan keterlibatan. Untuk membangun kepercayaan, PTS harus memanfaatkan Student Superstars (mahasiswa atau alumni influencer) untuk memimpin produksi konten Edutainment.

Konten yang dibawakan oleh teman sebaya jauh lebih kredibel dan otentik, dan ini adalah bentuk validasi komunitas yang sangat dicari Gen Z. Sementara itu, untuk meningkatkan keterlibatan, strategi harus didukung oleh Gamifikasi—penggunaan elemen permainan seperti poin, tantangan, dan hadiah—untuk meningkatkan motivasi dan retensi informasi.

Selain aspek digital, konten Edutainment PTS harus cerdas mengintegrasikan nilai-nilai luhur dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), termasuk nilai religiusitas, integritas, dan nasionalisme. Dalam konteks ini, seperti yang diamanatkan oleh mantan Wakil Presiden Ma’ruf Amin terkait pentingnya pembangunan SDM yang berkarakter, konten harus menonjolkan peran dosen sebagai mentor dan pembekal karakter.

Peran “pendekatan hati” seorang dosen, yang berfungsi membentuk karakter, tidak akan pernah tergantikan oleh kecerdasan buatan atau mesin manapun. Dengan menjadikan Edutainment sebagai jembatan yang menghubungkan delapan detik perhatian Gen Z dengan niat minat autentik (IMO) mereka, PTS dapat mengubah viewers menjadi mahasiswa yang loyal, menjamin keberlanjutan dan kualitas pendidikan tinggi nasional di era disrupsi digital.

Ditulis oleh : Dr. Kuncoro Hadi, S.T., M.Si., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI).

Sumber : kompas.tv