Pentingnya Komunikasi Islami dalam Membangun Budaya Mutu, PKPENK-UAI Gelar Diskusi Serial
Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) memperkuat sistem pendidikan dan pengajaran secara bertahap. Salah satunya terlihat dengan mengembangkan Pusat Kajian Penerapan Etika dan Nilai-nilai Keislaman atau yang biasa disebut sebagai PKPENK.
Upaya PKPENK-UAI dalam memupukkan nilai-nilai etika dan keislamannya terlihat dalam kegiatan yang tengah diselenggarakannya pada Kamis (18/2) berupa Diskusi Serial Epistemologi yang dilakukan secara daring melalui Virtual Zoom Meeting. Adapun bahasan diskusi yakni “Komunikasi Islami: Konsep dan Penerapannya di Perguruan Tinggi”.
Mengingat lingkungan budaya UAI tidak luput dari nilai keislaman, bahasan diskusi yang diangkat mengenai Komunikasi Islami ini perlu diperhatikan dan diterapkan agar penyampaian pesan di UAI dapat menggunakan prinsip-prinsip komunikasi sesuai dengan syariat islam.
Kegiatan ini tidak lupa diawali dengan kata-kata sambutan yang disampaikan oleh Rektor UAI, Prof. Dr. Ir. Asep Saefuddin, M.Sc, serta dihadiri juga oleh sivitas akademika UAI. Ibu Dr. Sandra Herlina SS., MA, selaku dosen dari program studi Bahasa dan Kebudayaan Jepang juga hadir untuk memoderatori diskusi kali ini.
PKPENK-UAI menghadirkan beberapa narasumber praktisi yang berkompeten, antara lain Prof. Andi Faisal Bakti, M.A., PhD sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Kelembagaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, serta menjadi Ditektur Center for Information and Development Studies (CIDES) Ikatan Cendekiawan Muslim (ICMI). Selain itu, diskusi ini juga menghadirkan Bapak Mohamad Ghozali Moenawar, Lc., MM, selaku dosen program studi Ilmu Komunikasi yang menyelesaikan S1 nya di Universitas Al-Azhar Mesir, serta memiliki beragam publikasi penulisan, dan menghadirkan juga Kepala Badan Penjaminan Mutu UAI, Dr. Dewi Elfidasari, M.Si.
Pemaparan diskusi pertama disampaikan oleh Prof. Andi Faisal yang menyebutkan bahwa komunikasi islam merupakan proses pemaknaan pesan oleh aktor komunikasi secara damai yang dibagun di atas prinsip ajaran Islam yang mengandung kedamaian, perdamaian, ketentraman, keselamatan, keamanan, kenormalan, kesehatan, kesejahteraan, serta kepatuhan. Sedangkan pada proses negosiasi, diterapkan sistem sama rata dan sama rasa (egaliter). Dan proses deliberasi menggunakan sistem syura, atau musyawarah.
Terdapat 20 jenis komunikasi tertutup dan terbuka menurut Prof. Andi Faisal, dikatakan bahwa islam berada di tengah-tengah antara keduanya. Salah satu contohnya pada komunikasi tertutup disebutkan “Traditionalism”, dan pada komunikasi terbuka disebutkan “Modernism”. Sedangkan dalam islami disebutkan menjadi “Al-maslahah”.
Melanjutkan kegiatan Diskusi Serial Epistemologi Islam, Bapak Ghozali Moenawar berkesempatan untuk memaparkan materinya dengan menyoroti salah satu keilmuan yakni Komunikasi Profetik. Disampaikan bahwa komunikasi profetik merupakan suatu keniscayaan ilmu pengetahuan sebagai upaya rekonsiliasi dan counter bagi perkembangan teknologi komunikasi saat ini yang bertujuan untuk mengisi kelemahan komunikasi yang cenderung parsial, mengarahkan pengembangan dan keutuhan ilmu komunikasi, serta menciptakan dan memperkaya nilai-nilai komunikasi.
Pak Ghozali juga melihat dari segi perspektif keislaman dan filsafatnya, bahwa komunikasi sebagai instrumen integral islam dan Al-Qur’an sebagai sumber utama praktik dan aturan komunikasi. Beliau menegaskan bahwa tidak ada konteks komunikasi yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis, sehingga ini membuktikan bahwa komunikasi profetik mampu dan bisa dijadikan sebagai dasar metakomunikasi islam. Dasar teologi komunikasi profetik ternyata dituliskan pada Surat Ali ‘Imran Ayat 110.
Disimpulkan bahwa komunikasi profetik bukan hanya persoalan dakwah tetapi juga persoalan kemanusiaan secara luas, terutama persoalan dunia mutakhir yang tidak memandang agama tertentu. Namun profetik dalam perspektif islam memiliki peran determinan sebagai sumber intellectual discourse dan sebagai ethical force yang dominan.
Tidak berhenti sampai disitu, diskusi dilanjut dengan pemaparan dari Kepala Badan Penjaminan Mutu UAI, Dr. Dewi Elfidasari, M.Si., yang mengharapkan bahwa nilai-nilai dan budaya komunikasi islam yang diamalkan dalam kehidupan sehari-hari ini dapat menjadi bagian dari budaya institusi sehingga sekaligus dapat meningkatkan budaya institusi.
Berdasarkan nilai-nilai komunikasi islami dalam Al-Qur’an yang telah dijelaskan sebelumnya oleh Prof. Andi dan Pak Ghozali, Ibu Dewi justru mengaitkan dengan nilai-nilai dasar UAI atau yang biasa disebut sebagai Core Value UAI, seperti: jujur dan amanah, tanggung jawab, kendali diri, peduli sesama, menghargai orang lain, kerjasama dan solidaritas, rendah hati dan tidak sombong, hingga mencintai Allah dan Rasul-Nya. Dengan begitu komunikasi islami dapat membangun mutu institusi karena budaya institusi yang didasarkan pada prinsip islam akan berimplikasi pada aktivitas harian yang dilakukan anggotanya, termasuk pola komunikasi.
Diskusi ditutup dengan sesi tanya jawab dan dilanjut dengan ucapan terima kasih hingga penutup oleh Kepala PKPENK-UAI, Drs. Murni Djamal, M.A.
Semoga ilmu yang disampaikan dapat bermanfaat dan membantu membangun kualitas mutu di berbagai institusi, khususnya di Universitas Al-Azhar Indonesia.