Petani Milenial Bandung Barat: Perlu Kolaborasi dengan Senior
Salah satu program Gubernur Provinsi Jawa Barat Ridwan Kamil yang cukup menarik dan saya kira memberikan inspirasi kepada daerah lain ialah Petani Milenial 4.0. Program ini sudah berjalan sejak akhir Maret 2021 dimulai di perkebunan milik Pidi Baiq di Lembang. Kabupaten Bandung Barat.
Pria yang karib disapa Kang Emil ini menyampaikan program ini merupakan salah satu cara pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja yang terus berkurang sejak terjadinya pandemi Covid-19.
Ketika diluncurkan pada waktu itu alumni Asitektur, ITB ini mengklain telah menerima 8.000-an berkas pendaftaran dari anak muda di daerahnya yang tertarik pada gerakan Petani Milenial. Pertanyaannya apakah gerakan ini realisasi mendapat sambutan dari kalangan milenial di Jawa Barat?
Sarah Apriliani Nurjanah, seorang anak muda dari Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua masih dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat menjawa lantang” Iya, dia tertarik kepada dunia pertanian. Hanya saja perempuan kelahiran 9 April 1992 memilih berada di sektor hilir, alias menjual sayur mayur produksi desanya ke pasar Jabodetabek.
Dengan Brand Sobat Veggie, alumni Jurusan Biologi, Universitas Al Azhar Indonesia menyerap kiriman 2-3 ton sayur mayur per pengiriman dari desanya. Bahkan dia juga menyerap produk petani dari kawasan Lembang lainnya, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi bahkan menembus Kabupaten Bogor.
Mantan Guru Biologi di sebuah SMA swasta di kawasan Jakarta ini mengungkapkan selain akses pasar yang “profitable” dan tidak teratur, kendala di pertanian tentunya banyak, terkait kurangnya teknologi mempengaruhi kapasitas produksi. Petani juga menghadapi kendala modal untuk tanam.
Sobat Veggie menampung berbagai jenis sayuran di atas 100 produk. Pasarnya terdiri dari dua jenis yaitu B2B dan B2C.
“Untuk pemasaran segmen B2B, Sobat Veggie menggunakan platform daring, market place dan horeka. Sementara untuk B2C dijual reatail ke perumahaan melalui keagenan,” ujar Sarah dalam wawancaranya melalui Whatsapp kepada saya, 10 November 2021, yang saya juga muat di Majalah Peluang
Usahanya dimulai jauh sebelum Kang Emil mengumumkan Gerakan Petani Milenial, yaitu pada 2019. Berkantor di Menara 165, Jakarta Selatan, Sobat Veggie mampu meraup omzet antara Rp350 juta hingga Rp500 juta per bulan.
Keluarga Sarah adalah petani. Ayahnya petani, ibunya petani, saudaranya juga petani. Penduduk Desa Pasirlanggu yang kini menurut Dispukcail Kabupaten Bandung Barat berpenduduk 10.926 jiwa. Sebagian menggantungkan kehidupan menjadi petani, terutama sektor hortikultura.
Menurut Sarah, sejak 2013 hingga sekarang minat milenial di dunia pertanian khususnya di Desa Pasirlangu cukup signifikan meningkat. Banyak yang orang tuanya petani kemudian di lanjutkan oleh anak anaknya untuk mengelola kebun.
“Menurut saya dengan kepedulian milenial terhadap pertanian dapat meningkatkan inovasi inovasi out of the box untuk sektor ini. Kolaborasi antara dua generasi akan menjadi pusat kekuatan untuk memajukan pertanian di Desa Pasirlangu dan daerah lainnya,” paparnya.
Sarah menyampaikan perlu waktu bagi milenial untuk mengetahui seberapa pentingnya sektor pertanian harus ada regenerasi. Hal ini perlu edukasi baik di tingkat sekolah maupun kuliah. Kemungkinan minat milenial tidak terjun ke dunia pertanian langsung karena kendala “high risk, unexpected revenue and return and the harvest based on natural”.
Sehingga tidak ada kepastian jelas dan jaminan pemasukan yang membuat milenial lebih suka bekerja tetap di perusahaan. Padahal sektor pertanian merupakan sektor yang seksi.
“Saya tentunya berharap terus misi regenerasi pertanian ke milenial ini terus berjalan. Kami pun bekersama dengan adik adik mahasiswa khususnya tempat dulu saya kuliah untuk internship di mitra petani kami. Ini salah satu tindakan kami untuk mengajak kaum milenial terjun ke sektor pertanian,” terang dia lagi.
Jadi belajar dari Sarah, saya melihat kalau sektor hulu dan hilir bisa bergandeng tangan, siapa bilang berkarir di pertanian menjanjikan masa depan? Pertanyaannya apakah yang dilakukan Sarah itu juga terjadi di tempat lain atau jangan-jangan parsial”
Atau jangan-jangan tanpa diumumkan gerakan ini sebagai program pemerintah (baik pusat maupun daerah), para milenialnya sebetulnya sudah bergerak memasuki sektor pertanian atas kesadarannya sendiri?
Saya pun melakukan riset terhadap berita yang ada di berbagai media terkait petani milenial ini Ini saya kutip dari sebuah berita dari situs berita Detik, dua bulan setelah pengumuman gerakan ini Detik.com
Salah satu petani yang mendaftar dalam program Petani Milenial 4.0 tersebut benama Jajat (36), asal Kampung Pasir Angling, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Dari usianya, dia masih tergolong milenial.
Masih satu kabupaten dengan Sarah, Bandung Barat menjadi lokasi yang cocok untuk mengamati partisipasi Milenial di pertanian karena di lokasi ini lah Ridwan Kamil meresmikan program Petani Milenial.
Jajat bukan orang baru di dunia pertanian. Dia menggelutinya sejak 2017.Di lahan seluas hampir 1 hektare, Jajat menanam berbagai jenis tanaman seperti lettuce, koriander, dan tanaman lainnya. Dia mengaku tertarik pada Program Petani Milenial, sejak diresmikan namun hingga akhir Mei 2021, dia belum merasakan dampak positif dari program tersebut.
Sebetulnya katanya, program ini positif kalau pemerintah sudah mampu memunculkan keinginan para generasi muda untuk melirik dunia pertanian sebagai profesi yang menjanjikan lantaran mengusung konsep “smart farming”. Dia menduga pemerintah kurang mendalami permasalahan pertanian di lapangan.
Jajat mengajukan usulan yang mirip diungkapkan Sarah di atas bahwa perlu kolaborasi antara dua genarasi, senior dan junior. Bahwa program pertanian juga harus melibatkan petani senior, karena mereka yang membangun sektor pertanian. Keduanya harus bersama-sama membangun sektor ini.
Jajat juga menyebut ada sedikit secercah dampak positif dari program tersebut. Misalnya penggunaan teknologi untuk efisiensi kinerja petani yang bakal bermuara pada peningkatan kualitas dan kuantitas produksi.
Di antaranya menggunakan sensor siram tanaman otomatis, lalu hidroponik. Dua teknologi itu mengurangi 50 persen tenaga kerja dan keberhasilan tanaman meningkat sampai 90 persen.
“Karena kita tahu di pertanian itu banyak kendala terutama garapan di lahan terbuka,” ucap Jajat seperti dilansir https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5508996/kisah-milenial-bandung-lawan-stigma-petani-hidup-susah
Meskipun demikian Jajat berupaya mandiri menghidupi usahanya. Seperti membuat sendiri pupuk untuk tanaman hingga langkah mengedukasi petani muda lain yang tergabung dalam kelompok tani gagasannya.
Dia membimbing mereka agar berhasil sebagai petani. Jajat juga berupaya memutus rantai penjualan ke bandar dan tengkulak. Dia juga berjuang membuat kontrak dengan perusahaan penyalur produksi tani untuk pasar lokal dan ekspor
Sementara pada September lalu, Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Bandung Barat Hengki Kurniawan mengatakan, petani dan peternak milenial ini merupakan program Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Pemda KBB, turut serta mensukseskan program tersebut. Dia menjanjikan kesiapan mencetak petani dan peternak milenial yang bisa membangkitkan roda perekonomian daerah. Bagaimana hasilnya? Waktu akan menjawabnya.
Sumber