Indonesia & Pangan Dunia
Ketika masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) di tahun 1976, penulis sering melihat para kakak kelas memakai t-shirt berwarna hijau yang bertuliskan “Agronomy Feeds The World”. Mereka pada dasarnya sedang promosi Jurusan Agronomi adalah pilihan yang tepat. Tujuannya agar para calon mahasiswa berbondong-bondong memilih agronomi sebagai pilihan program studi. Dan berhasil. Saat itu, Program Studi Agronomi menjadi favorit. Begitu juga jurusan ilmu tanah dan hama-penyakit tanaman. Saya yang waktu itu takut tertolak, memilih Jurusan Statistika dan Komputasi.
Sebenarnya “Agronomy Feeds The World” bisa kita rubah menjadi “Indonesia Feeds The World”. Banyak alasan hal itu bisa terjadi. Lihat saja kekayaan alam Indonesia yang luar biasa. Kita kaya dengan sumber protein nabati dan ikan. Tahun 1968 tim peneliti Universitas Wisconsin (USA) mempelajari sistem pertanian sawah ukuran kecil-kecil yang bisa menjadi ketahanan pangan keluarga. Mereka menyebutnya sebagai “Javanese Agriculture”.
Saat itu memang kita cukup kuat dengan manajemen irigasi kelompok tani. Di Jawa Barat dikenal dengan istilah “mitra cai” atau kerjasama pembagian air. Di Bali dikenal dengan istilah “subak”. Manajemen perairan berbasis pada kebijaksanaan lokal (local wisdom).
Memang zaman terus berubah. Teknologi masuk ke berbagai relung kehidupan. Selain semakin cepat juga semakin aneh-aneh, baru, dan menggantikan pola, produk, serta gaya. Begitu juga terhadap sistem pertanian.
Akan tetapi esensi kebutuhan pangan tidak bisa digantikan. Kita tetap perlu protein, karbohidrat, dan kandungan pangan lainnya. Bahkan saat ini banyak anjuran “back to basic, back to nature”. Tidak saja kandungannya yang natural tetapi juga gayanya. Tidak heran jika WTS (Warung Tengah Sawah) banyak diminati tidak saja oleh kaum tua, tetapi juga generasi milenial.
Saat ini konsep “Indonesia Feeds The World” semakin mendesak (urgent). Pemanasan global dan perubahan iklim serta perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan banyak pasokan sumber pangan dan juga energi terganggu. Harga-harga mulai naik. Bahkan mie kemasan sudah merangkak.
Selain itu, ketahanan pangan kita menurut catatan Global Food Security Index (GFSI) hanya bercokol di angka 59.2 (2021), turun dibandingkan satu tahun sebelumnya yang sempat mencapai 61,4. Melalui posisi yang demikian, ketahanan pangan kita masih kalah jauh dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (77,4), Malaysia (70,1), Thailand (64,5), Vietnam (61,1), dan Filipina (60). Kita perlu memikirkan pembangunan pertanian ini secara matang. Jangan sampai kita miskin di daerah berkelimpahan.
Oleh karena itu, sebelum mendeklarasikan “Indonesia Feeds The World”, tahap awalnya kita harus membebaskan diri dari kemiskinan. Semua orang Indonesia bisa makan dari hasil karyanya sendiri. Baik itu petani, pedagang, pegawai perusahaan, PNS, guru, dosen, mereka harus tetap produktif dan hidup layak.
Banyak hal yang bisa kita berdayakan untuk membangun pangan nasional. Lahan nganggur yang luar biasa banyaknya harus dijadikan lahan produktif. BUMN yang berkaitan dengan pangan, pertanian, dan Sumber Daya Alam (SDA) harus mampu menjadikan aset mubazir jadi aset tajir. Kasarnya, jangan sampai ada sejengkal tanah kita yang mubazir. Lahan-lahan yang dikuasai perusahaan, pemerintah dan perorangan wajib menjadi lahan produktif.
Konsekuensinya para birokrat di BUMN itu harus berani hidup apa adanya sebelum lahannya produktif dan berdaya saing. Lupakan dulu fasilitas mewah sebelum perusahaannya dapat menghasilkan devisa. Fasilitas infrastruktur dan kapasitas SDM lebih utama ketimbang aksesoris yang tidak relevan. Jangan sampai BUMN tidak produktif tetapi dewan direksi leha-leha dan kaya raya. Beranikah? Seperti halnya pola kerja alam, yakni terintegrasi dan saling mendukung, maka perusahaan yang berkaitan dengan SDA juga harus demikian. Kebijakan-kebijakan jangan sampai mematikan perusahaan. Misalnya dengan tuntutan pajak yang berlebihan. Biarkan perusahaan bergerak maju, produktif, dan menampung banyak tenaga kerja. Jangan dibebani dulu dengan berbagai regulasi dan pungutan. Kreativitas dan inovasi akan mandek bila beban terlalu banyak.
Hasil penelitian Rachmadi, dkk (2022) dalam kasus industri garam ditemukan bahwa SDM, permodalan, teknologi dan pemasaran menjadi sumber-sumber kemacetan. Padahal semua faktor itu pada dasarnya harus sebagai unsur produktif. Semua ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang kurang kondusif terhadap industri pertanian. Termasuk konsep pendidikan nasional dan pelatihan-pelatihan yang tidak relevan dengan kebutuhan. Banyak gap antara kurikulum dan industri.
Penemuan Rachmadi itu sejalan dengan Endogenous Growth Model (EGM) untuk kemajuan ekonomi negara. Romer (2018) sebagai penggagas EGM ini menekankan pentingnya optimasi SDA dengan penguatan SDM, teknologi, dan kapital. Dari konsep ini bisa kita simpulkan bahwa untuk kemajuan ekonomi harus berdasarkan kekuatan SDA yang diperkuat dengan faktor-faktor yang ada dalam EGM. Pangan yang esensinya tidak bisa digantikan dengan unsur kimia atau teknologi itu merupakan kekuatan Indonesia. Atau yang disebut keunggulan komparatif (comparative advantages). Namun demikian, keunggulan komparatif ini akan habis begitu saja bila tidak dilindungi kebijakan yang tepat, teknologi, kekuatan riset, pelatihan, dan dukungan pasar.
Dengan adanya pemicu krisis pangan (dan energi), Indonesia bisa keluar sebagai penyelamat pangan dunia. Setidaknya Indonesia tidak terperangkap ke dalam krisis pangan. Untuk itu, perlu ada kebijakan yang betul-betul pro SDA atau pertanian dalam arti luas. Jadikanlah SDA sebagai platform pembangunan ekonomi Indonesia. Pertanian jangan dibiarkan acak-acakan sehingga mati enggan hidup tak mau.
Solusi impor pangan dan gairah perpajakan sama sekali tidak kondusif terhadap gairah produktivitas lokal. Konsep sapujagat melalui kebijakan impor itu akan mematikan kreativitas dan gairah kerja di sektor-sektor SDA. Ujungnya akan menambah beban sekaligus kestabilan negara. Bukan hanya ketahanan pangannya yang menjadi rapuh, tapi jurang pengangguran semakin terbuka lebar.
Untuk menghindari pengangguran sekaligus meningkatkan kemandirian atau bahkan kedaulatan pangan, Indonesia bisa menerapkan kebijakan pembangunan berbasis EGM. Dengan demikian, “Indonesia Feeds The World” itu bukan angan-angan.
Semua faktor EGMnya ada di Indonesia. Hanya perlu kesungguhan para pengambil kebijakan dan konsistensi implementasinya. Termasuk para politisi, mereka harus wajib paham dan disiplin menjalankan konsepnya.
Jangan jadikan pertanian dan ranah pangan sebagai ladang mengejar angka elektabilitas semata. Semoga!
*Asep Saefuddin, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) – Guru Besar Statistika FMIPA Institut Pertanian Bogor (IPB)