Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia menghadapi dilema mendesak: bagaimana menyeimbangkan tuntutan kualitas pendidikan dengan lonjakan jumlah pendaftar yang signifikan. Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025 mencatat lebih dari 1,4 juta peserta, dengan beberapa PTN favorit seperti Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada menerima pendaftar di atas 100.000 orang. Kondisi ini mendorong Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi untuk menegaskan pembatasan penerimaan mahasiswa baru hingga Juli 2025, menyusul temuan pada tahun ajaran 2023/2024, ketika beberapa PTN melampaui daya tampung yang ditetapkan.
Ekspansi kuantitas tanpa kontrol berisiko mengikis kualitas. Rasio dosen-mahasiswa nasional pada 2022 adalah 1:27, mendekati batas ideal 1:30 untuk ilmu sosial namun jauh melampaui 1:20 untuk ilmu eksakta. Ketimpangan ini membebani dosen, mengurangi waktu mereka untuk riset dan pengabdian masyarakat. Selain itu, keterbatasan infrastruktur menjadi hambatan nyata; hanya sekitar 40% siswa SMA yang berkesempatan melanjutkan ke perguruan tinggi karena ketimpangan fasilitas dan lokasi. Standar ideal 15 m² lahan dan 1,5 m² luas lantai bangunan per mahasiswa seringkali tidak terpenuhi, berdampak langsung pada lingkungan belajar.
Kesenjangan kompetensi lulusan juga menjadi sorotan. Kamar Dagang dan Industri (KADIN) melaporkan bahwa lulusan universitas masih menyumbang 8% pada angka pengangguran terbuka per Agustus 2022, meskipun 82,28% lulusan perguruan tinggi telah terserap dalam angkatan kerja. Ini mengindikasikan kurikulum yang terlalu teoritis, kurang menekankan keterampilan praktis seperti kerja tim, sebagaimana disorot dalam survei alumni ITB. Lebih lanjut, jumlah mahasiswa yang berlebihan dapat menghambat produktivitas riset dosen, padahal Indonesia telah menunjukkan peningkatan signifikan dalam Global Innovation Index (GII), naik dari peringkat 85-89 pada 2021 menjadi 54 pada 2024.
Namun, pembatasan ketat juga memiliki implikasi serius terhadap pemerataan akses. Undang-Undang Pendidikan Tinggi mewajibkan PTN menerima minimal 20% mahasiswa dari keluarga kurang mampu, namun faktor ekonomi tetap menjadi penghalang utama yang berkontribusi pada tingginya angka putus sekolah. Program beasiswa seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah terbukti efektif, dengan 87% penerima Bidikmisi mencapai IPK di atas 3,0. Universitas Terbuka (UT) juga menjadi solusi vital, mengakomodasi mereka yang terkendala jarak, waktu, dan usia, menunjukkan bahwa akses pendidikan tinggi harus tetap luas melalui berbagai jalur.
Maka, diperlukan pendekatan seimbang. Studi kasus internasional menunjukkan bahwa negara-negara seperti Australia membatasi penerimaan mahasiswa internasional dari 810.960 menjadi 270.000 per tahun untuk menjaga kualitas dan mengatasi krisis akomodasi. Indonesia harus berinvestasi pada peningkatan kualitas dosen, mengoptimalkan rasio dosen-mahasiswa, mengembangkan infrastruktur fisik dan digital, serta menyelaraskan kurikulum dengan kebutuhan industri. Bersamaan dengan itu, perluasan program beasiswa dan penguatan jalur alternatif seperti UT sangat penting untuk memastikan akses yang adil. Tujuannya adalah menciptakan ekosistem pendidikan tinggi yang adaptif, berkualitas, dan mampu mencetak SDM unggul yang relevan dengan kebutuhan bangsa di masa depan.
Ditulis oleh : Dr. Kuncoro Hadi, S.T., M.Si., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI).
Sumber : rm.id