Indonesia, dengan potensi besar sebagai pusat ekonomi syariah global dan populasi Muslim mencapai 86,7%, menghadapi anomali signifikan: tingkat literasi finansial syariah (LKS) yang rendah. Data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 menunjukkan LKS hanya mencapai 43,42%, jauh di bawah literasi keuangan konvensional yang mencapai 66,45%, menciptakan kesenjangan sebesar 23,03%. Kesenjangan ini menunjukkan pemahaman dan akses masyarakat terhadap produk syariah masih sangat terbatas, padahal industri keuangan syariah telah menunjukkan pertumbuhan menjanjikan dengan proyeksi aset mencapai Rp9.529 triliun pada kuartal pertama 2025. Kondisi ini menggarisbawahi urgensi peran Perencana Keuangan Islam (Islami Islamic financial PlannerIFP) sebagai katalisator untuk menjembatani kesenjangan pengetahuan dan kepercayaan tersebut.

Peran IFP melampaui sekadar penasihat finansial konvensional, dengan fokus pada pencapaian fallah, yaitu keberuntungan holistik di dunia dan akhirat. IFP membantu masyarakat memahami dan menerapkan prinsip-prinsip syariah seperti larangan riba (bunga), gharar (ketidakpastian), dan maisir (perjudian) dalam setiap aspek keuangan. Pendekatan ini bukan hanya tentang metrik finansial, tetapi juga mencakup bimbingan moral dan etika, yang sangat relevan bagi mayoritas Muslim Indonesia. Dampaknya signifikan terhadap perilaku, di mana studi menunjukkan literasi keuangan syariah yang baik meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengelola keuangan pribadi.

Peningkatan pemahaman ini secara langsung mendorong minat masyarakat untuk menggunakan layanan keuangan syariah, yang sangat krusial mengingat indeks inklusi keuangan syariah baru mencapai 13,41% pada tahun 2025, jauh di bawah inklusi konvensional yang mencapai 79,71%.

Tantangan utama yang dihadapi adalah keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas. Jumlah profesional bersertifikasi seperti CFP di Indonesia baru sekitar 1.720 orang, sangat jauh dari kebutuhan yang diperkirakan mencapai 2,5 juta perencana keuangan. Kesenjangan ini menciptakan hambatan besar dalam upaya peningkatan LKS. Selain itu, akses fisik ke layanan syariah masih terbatas, terutama di luar kota besar. Namun, terdapat peluang strategis yang dapat dimanfaatkan melalui transformasi digital.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil langkah konkret dengan program “Sahabat Ibu Cakap Literasi Keuangan Syariah” SICANTIKS, yang pada April 2025 melatih 100 perencana keuangan perempuan sebagai “Duta Literasi Keuangan Syariah” untuk menciptakan efek pengganda. Sejak diluncurkan pada tahun 2023, program ini telah melahirkan lebih dari 2.350duta literasi, menunjukkan skalabilitas pendekatan berbasis komunitas.

Untuk mempercepat peningkatan LKS dan memaksimalkan peran IFP, diperlukan rekomendasi strategis yang terintegrasi. IFP harus terus meningkatkan kompetensi melalui Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) dan mengadopsi metode edukasi inovatif melalui platform digital. Regulator seperti OJK perlu memperjelas kerangka regulasi bagi profesi perencana keuangan syariah di bawah POJK No. 5 Tahun 2025, yang berlaku efektif 3 Maret 2025, untuk memberikan kepastian hukum dan meningkatkan kredibilitas.

Lembaga keuangan harus didorong untuk mengembangkan produk yang lebih inovatif dan kompetitif serta memperluas akses, misalnya melalui optimalisasi jaringan agen. Terakhir, akademisi dan masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam pengembangan kurikulum pendidikan dan kampanye kesadaran komunitas, memanfaatkan program seperti SICANTIKS yang melibatkan 2.350 duta literasi. Dengan sinergi yang kuat, Indonesia dapat secara efektif mendekati target literasi ekonomi syariah 50% pada akhir 2025 dan mewujudkan kesejahteraan finansial yang inklusif.

Ditulis oleh :

Dr. Kuncoro Hadi, RIFA, CLOT

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UAI