Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki potensi zakat yang luar biasa sebagai pilar fundamental pengentasan kemiskinan dan ketidakmerataan ekonomi. Namun, realitasnya ibarat raksasa tidur yang belum terbangun. Setiap tahun, potensi zakat nasional diperkirakan mencapai Rp 327 triliun, sebuah angka yang setara dengan hampir 1,5 kali Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bidang infrastruktur.

Ironisnya, angka ini jauh panggang dari api. Meskipun ada pertumbuhan penerimaan zakat nasional yang signifikan, yakni melonjak 45% dari Rp 21 triliun pada tahun 2022 menjadi Rp 32 triliun pada tahun 2023, dana yang terkumpul itu masih hanya sekitar 10% dari total potensi yang ada. Ketimpangan ini bukan semata masalah kesadaran umat, melainkan juga berakar pada problematika regulasi dan tata kelola yang menciptakan friksi di antara lembaga pengelola zakat itu sendiri.  

Akar permasalahan utama terletak pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, yang secara tidak sengaja menciptakan ketidaksetaraan peran antara Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). UU ini mendefinisikan LAZ sebagai lembaga yang “membantu” BAZNAS dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Frasa tunggal ini secara yuridis mengubah posisi LAZ dari mitra setara menjadi subordinat, sebuah kemunduran dari semangat gotong royong yang ada pada UU sebelumnya, UU Nomor 38 Tahun 1999. Konsekuensinya, LAZ wajib mendapatkan izin dari Menteri Agama dan secara rutin melaporkan kegiatannya kepada BAZNAS, sebuah mekanisme yang dianggap menghambat dan membatasi ruang gerak LAZ yang notabene lahir dari inisiatif masyarakat.  

Ketimpangan peran ini turut mengikis kepercayaan publik, salah satu faktor krusial dalam optimalisasi zakat. Survei oleh PIRAC menunjukkan bahwa ketidakpercayaan terhadap lembaga pengelola zakat masih menjadi isu signifikan. Mayoritas masyarakat, mencapai 63,6%, masih memilih untuk menyalurkan zakatnya secara informal, seperti kepada panitia zakat di lingkungan sekitar atau langsung kepada mustahik. Sementara itu, hanya 12,5% masyarakat yang menyalurkan zakatnya melalui lembaga resmi seperti BAZNAS, LAZ, dan yayasan sosial. Kondisi ini diperparah dengan kasus-kasus penyalahgunaan dana oleh oknum di beberapa lembaga yang merusak citra seluruh ekosistem zakat. Akibatnya, alih-alih terkumpul dalam satu sistem yang terkelola dengan baik, dana zakat menyebar dan sulit diukur, membuat manfaatnya tidak terasa maksimal.  

Tantangan ini diperberat oleh skema insentif fiskal yang masih belum efektif. Saat ini, zakat yang dibayarkan melalui lembaga resmi diakui sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP). Artinya, jumlah zakat hanya mengurangi dasar penghasilan yang akan dikenai pajak, bukan mengurangi total pajak yang harus dibayar. Sebagai contoh, muzaki dengan penghasilan Rp 10 juta per bulan dikenakan zakat sebesar Rp 3 juta per tahun. Dengan skema PKP, insentif fiskal yang didapatnya hanya sekitar Rp 150.000 per tahun, sebuah angka yang minim dan dianggap tidak cukup menarik untuk mendorong kepatuhan. Akibatnya, banyak muzaki tidak melihat manfaat signifikan dari menyalurkan zakat melalui jalur resmi, sehingga mereka kembali memilih untuk menyalurkannya secara langsung.  

Kelemahan ini kontras dengan praktik di negara-negara lain. Sebagai perbandingan, Malaysia telah lama menerapkan skema tax creditatau pengurang pajak langsung. Di bawah model ini, zakat yang dibayarkan akan langsung mengurangi jumlah pajak terutang. Jelas, insentif finansial yang jauh lebih besar ini terbukti sangat efektif dalam mendorong kepatuhan muzaki dan secara signifikan meningkatkan penerimaan zakat nasional.

Di sisi lain, Turki, meskipun zakatnya bersifat sukarela, donasi kepada lembaga kemanusiaan seperti Türk Kızılay dapat dikurangkan sepenuhnya dari penghasilan kena pajak. Ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang kuat dan lembaga yang terpercaya dapat menjadi kunci untuk mengoptimalkan potensi filantropi.  

Kritik terhadap UU Zakat Nasional yang sentralistis ini tidak hanya datang dari praktisi zakat, tetapi juga dari lembaga-lembaga hukum tertinggi. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengakui keberatan tersebut dan pada Agustus 2025, memerintahkan DPR untuk merevisi UU Nomor 23 Tahun 2011 dalam jangka waktu dua tahun. Putusan bersejarah ini memberikan lima “rambu-rambu” fundamental untuk revisi, termasuk membedakan peran regulator, pembina, dan operator, serta memberikan kebebasan bagi muzaki untuk memilih lembaga yang mereka percayai. Putusan ini sejalan dengan pandangan sejumlah tokoh nasional, seperti Menteri Keuangan yang dalam pidatonya pada tahun 2017 telah mengakui bahwa zakat adalah salah satu instrumen keuangan Islam yang dapat membantu pemerintah mengatasi masalah sosial. Mantan Menteri Agama Fachrul Razi juga sempat mewacanakan perlunya sanksi bagi muzaki yang tidak berzakat, menunjukkan urgensi penegakan regulasi. Proses revisi RUU ini kini tengah berlangsung di DPR.  

Menghadapi tantangan ini, diperlukan sebuah terobosan regulasi yang bukan hanya memperbaiki, tetapi merombak paradigma pengelolaan zakat secara fundamental. Pertama, revisi UU Zakat Nasional harus secara tegas menempatkan BAZNAS sebagai regulator dan pengawas bagi seluruh ekosistem zakat, serupa dengan peran Bank Indonesia dalam sektor perbankan. Sebaliknya, LAZ harus diakui sebagai operator yang setara dan mandiri, memiliki otonomi penuh dalam mengelola zakat secara profesional.

Kedua, pemerintah perlu mereformasi kebijakan fiskal dengan mengadopsi skema tax credit seperti di Malaysia. Perubahan ini akan memberikan insentif finansial yang kuat bagi jutaan muzaki untuk menyalurkan zakatnya melalui lembaga resmi, sehingga dapat meningkatkan penerimaan zakat hingga puluhan triliun rupiah per tahun. Dengan potensi Rp 327 triliun, bahkan peningkatan 10% dari skema baru ini bisa menambah dana pengentasan kemiskinan sebesar Rp30-an triliun.

Terakhir, seluruh ekosistem zakat harus bertransformasi digital secara masif, dengan membangun platform terintegrasi yang menjamin transparansi real-time dan memudahkan akses bagi muzaki dan mustahik. Perpaduan antara restrukturisasi peran kelembagaan, reformasi fiskal, dan adopsi teknologi inilah yang akan menghapus ketimpangan, membangun kembali kepercayaan publik, dan akhirnya, mengoptimalkan zakat sebagai kekuatan ekonomi umat yang mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di seluruh penjuru Indonesia.

 

Ditulis oleh : Dr. Kuncoro Hadi, S.T., M.Si., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI).

Sumber : rm.id