Presiden Prabowo Subianto, pada 15 Agustus 2025, secara resmi telah mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 beserta Nota Keuangannya dalam Sidang Paripurna DPR. Dokumen fiskal ini menjadi cetak biru arah ekonomi nasional untuk tahun mendatang.
Dalam RAPBN 2026, pendapatan negara diproyeksikan mencapai Rp 3.147,7 triliun, menunjukkan pertumbuhan signifikan sebesar 9,8 persen dibandingkan outlook tahun 2025. Sementara itu, belanja negara direncanakan sebesar Rp 3.786,5 triliun, yang berarti kenaikan 7,3 persen dari outlook 2025. Meskipun terjadi peningkatan belanja, pemerintah berupaya menjaga kesehatan fiskal dengan menargetkan defisit anggaran pada level 2,48 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dengan kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 638,8 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, target defisit ini sebagai optimisme yang terukur, sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2026 yang diperkirakan antara 5,2 persen hingga 5,8 persen.
Analisis lebih dalam menunjukkan bahwa belanja pemerintah pusat akan mendominasi anggaran, mencapai Rp 3.136,5 triliun, atau setara dengan 83 persen dari total belanja negara. Angka ini mencatat peningkatan substansial sebesar Rp 435,1 triliun dibandingkan APBN 2025. Fokus utama belanja pemerintah pusat diarahkan pada fungsi ekonomi, dengan alokasi terbesar mencapai Rp 820,37 triliun.
Besaran ini merupakan lonjakan 50 persen dibanding alokasi tahun berjalan, mencerminkan prioritas pemerintah dalam mendukung sektor-sektor produktif dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Dana ini akan disalurkan melalui berbagai program, termasuk subsidi energi, listrik, dan pupuk, bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR), serta dukungan untuk transportasi. Selain itu, belanja ini juga akan membiayai program prioritas seperti makan bergizi gratis, kesehatan, pendidikan, dan ketahanan pangan.
Di sisi lain, terdapat perubahan drastis pada alokasi anggaran untuk daerah. Anggaran transfer ke daerah pada RAPBN 2026 diajukan sebesar Rp 650 triliun. Angka ini menandai penurunan signifikan sebesar Rp 269 triliun dari APBN 2025, menjadikannya anggaran transfer daerah terendah sejak tahun 2015. Kecenderungan pemusatan anggaran negara ke pemerintah pusat ini memunculkan kekhawatiran dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan ini. Pemusatan anggaran berpotensi melemahkan kapasitas fiskal daerah, sehingga inisiatif pembangunan di daerah akan semakin bergantung pada anggaran dari pusat.
Untuk menopang belanja yang masif, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.692 triliun, dengan target pertumbuhan pajak sebesar 13,5 persen. Target ini dinilai ambisius, mengingat rata-rata pertumbuhan pajak dalam 10 tahun terakhir hanya mencapai 7,76 persen. Salah satu strategi yang dikaji adalah pengenaan pajak bagi pengguna media sosial, yang diisukan akan berlaku mulai tahun 2026.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berencana memanfaatkan teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk memantau penghasilan dari postingan medsos serta mendeteksi gaya hidup influencer dan artis yang tidak sesuai dengan laporan pajak mereka. Namun, kebijakan perpajakan ini menghadapi sensitivitas tinggi di masyarakat, terutama setelah sentimen negatif atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan munculnya gerakan “boikot pajak” akibat kasus korupsi yang melibatkan anak pejabat pajak. DPR menyarankan pemerintah lebih fokus mengejar wajib pajak nakal dan memanfaatkan peluang perpajakan global daripada memperluas atau menaikkan tarif pajak yang dapat menimbulkan gejolak di masyarakat.
Secara keseluruhan, RAPBN 2026 disiapkan dengan target yang moderat dan realistis di tengah tantangan ekonomi global, seperti dampak pemberlakuan tarif oleh Presiden AS Donald Trump, konflik geopolitik, penurunan daya beli rumah tangga, serta PHK di sektor manufaktur. Bank Indonesia (BI) telah menurunkan estimasi pertumbuhan ekonomi 2025 menjadi 4,6-5,4 persen dari proyeksi sebelumnya (4,7-5,5 persen), menyusul kinerja buruk pada kuartal pertama dan tekanan eksternal.
Risiko PHK yang diperkirakan akan berdampak pada 280.000 pekerja pada 2025 juga dapat membebani konsumsi domestik. Meskipun demikian, pemerintah tetap mengisyaratkan kebijakan yang lebih tegas untuk menjaga ketahanan fiskal dan mencapai kemandirian energi, mengingat Indonesia menghabiskan 40 miliar dolar AS setiap tahun untuk impor energi. Postur RAPBN 2026 mencerminkan upaya pemerintah untuk menyeimbangkan aspirasi pertumbuhan dengan tekanan sosial, politik, dan lingkungan yang ada.
Ditulis oleh : Dr. Kuncoro Hadi, S.T., M.Si., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI).
Sumber : rm.id