Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan krisis pendanaan yang membayangi, perguruan tinggi di seluruh dunia berada di persimpangan jalan krusial. Era ketika institusi pendidikan tinggi hanya berfungsi sebagai “menara gading” yang murni mengandalkan uang kuliah mahasiswa dan subsidi pemerintah telah berakhir. Alih-alih hanya mengkonsumsi dana sebagai cost center, perguruan tinggi kini dituntut untuk bertransformasi menjadi entitas yang secara strategis mampu menciptakan dan menghasilkan pendapatan sendiri, atau dikenal dengan sebutan “universitas enterprising.” Pergeseran ini bukan sekadar tren manajerial, melainkan sebuah respons fundamental terhadap tekanan finansial, fluktuasi harga komoditas global, dan tantangan makroekonomi yang menekan anggaran pendidikan dan riset.
Transisi ini menjadi semakin mendesak di Indonesia. Pemerintah secara aktif mendorong institusi pendidikan untuk mencapai kemandirian finansial. Salah satu inisiatifnya adalah Program Revitalisasi Perguruan Tinggi Negeri (PR-PTN) tahun 2024, yang bertujuan mempercepat transformasi PTN dari Satuan Kerja (PTN-Satker) menjadi Badan Layanan Umum (PTN-BLU), dan selanjutnya menjadi Badan Hukum (PTN-BH). Kebijakan ini secara eksplisit menargetkan peningkatan “aktivitas penghasil pendapatan” (revenue generating activities) untuk memperkuat kapasitas dan kualitas infrastruktur Tridharma—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Alokasi Dana Abadi Perguruan Tinggi juga menjadi bukti komitmen pemerintah, yang bertujuan mendorong universitas untuk menjadi institusi kelas dunia yang mandiri.
Secara konsep, universitas enterprising adalah perwujudan dari model inovasi Triple Helix, sebuah kerangka yang dipelopori oleh Henry Etzkowitz dan Loet Leydesdorff. Model ini menggeser peran tradisional dari tiga aktor utama—universitas, industri, dan pemerintah—menuju sebuah kolaborasi yang saling tumpang tindih dan dinamis. Dalam kerangka ini, universitas tidak hanya fokus pada riset dasar, tetapi juga mengambil peran proaktif dalam mengomersialkan pengetahuannya melalui paten dan lisensi. Sementara itu, industri tidak hanya menjadi pengguna hasil riset, tetapi juga mitra strategis yang menyediakan investasi dan keahlian. Pemerintah bergeser dari sekadar regulator menjadi fasilitator dan investor yang menciptakan ekosistem inovasi kondusif. Kolaborasi ini melahirkan “institusi hibrida” seperti Kantor Alih Teknologi (Technology Transfer Office atau TTO) dan taman sains, yang berfungsi sebagai jembatan penting untuk menerjemahkan riset akademik menjadi aktivitas ekonomi.
Peran TTO, khususnya, adalah elemen vital dalam transformasi ini. TTO bertugas mengadministrasikan dana riset, mengevaluasi potensi komersial penemuan, mengurus perlindungan kekayaan intelektual (KI) seperti paten, dan menegosiasikan perjanjian lisensi dengan perusahaan. Di Indonesia, contoh nyata dari inisiatif ini dapat dilihat di beberapa universitas. Universitas Negeri Surabaya (UNESA) memiliki alur komersialisasi yang terstruktur, mulai dari pengungkapan inovasi, evaluasi kelayakan komersial, perlindungan paten, hingga hilirisasi produk melalui inkubasi bisnis dan kemitraan. Demikian pula, Innovate FKUI di Universitas Indonesia berfokus khusus pada transfer inovasi di sektor kesehatan, mempromosikan kolaborasi riset, dan membantu patenisasi penemuan ilmiah. TTO ini pada dasarnya mengubah riset dan pengembangan (R&D), yang dulunya dianggap sebagai cost center murni, menjadi aset strategis yang mampu menghasilkan pendapatan.
Selain hilirisasi riset, perguruan tinggi juga mengadopsi berbagai strategi lain untuk mendiversifikasi sumber pendapatan non-pendidikan. Salah satunya adalah melalui program pendidikan eksekutif dan sertifikasi profesional. Program-program non-reguler ini, seperti pelatihan pajak atau mini MBA, ditujukan bagi para profesional yang ingin meningkatkan keterampilan mereka dalam waktu singkat. Universitas Airlangga (UNAIR) melalui UNAIR Executive Education Center (AEEC) menawarkan beragam program ini, termasuk pelatihan in-house yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Potensi pendapatan dari program ini sangat besar, karena biayanya dapat dinegosiasikan dan tidak terikat pada skema Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Strategi lain yang tak kalah penting adalah pembentukan inkubator bisnis dan penguatan kemitraan dengan industri. Inkubator bisnis di kampus berfungsi untuk membina startup mahasiswa dan dosen, menyediakan fasilitas, pelatihan, dan akses ke jaringan investor. Inisiatif ini tidak hanya menghasilkan potensi pendapatan di masa depan, tetapi juga menumbuhkan pola pikir kewirausahaan di kalangan mahasiswa dan mempersiapkan mereka untuk menjadi wirausahawan. Di Indonesia, perguruan tinggi swasta (PTS) seringkali memiliki keunggulan dalam hal ini karena fleksibilitasnya. Sebagai contoh, Universitas di bilangan Jakarta Selatan telah menjadikan kemitraan dengan lebih dari 100 mitra industri sebagai bagian integral dari proposisi nilainya. Kolaborasi ini memastikan bahwa kurikulum tetap relevan, lulusan memiliki akses yang lebih mudah ke pekerjaan, dan universitas mampu meningkatkan daya saingnya di pasar kerja.
Meskipun menjanjikan, adopsi model enterprising ini juga menghadapi tantangan dan kritik yang serius. Salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi komersialisasi pendidikan. Kritik lain menunjukkan bahwa fokus berlebihan pada keuntungan dapat mengikis misi humanistik pendidikan, mengubah universitas menjadi “perusahaan” yang sekadar memproduksi “kuli kerja” untuk industri, bukan pusat pengembangan intelektual dan karakter. Terdapat juga risiko bahwa perguruan tinggi dapat menjadi terlalu bergantung pada korporasi, yang berpotensi mengorbankan kebebasan akademik dan mengarahkan agenda riset demi kepentingan komersial.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih konstruktif dan holistik. Solusi ke depan menselaraskan model enterprising, dengan merancang sebuah terobosan baru yang secara eksplisit mengintegrasikan misi ekonomi dengan misi sosial. Saya mengusulkan sebuah kerangka “Mandat Hibrida” (Hybrid Mandate) yang tidak hanya berfokus pada metrik finansial, tetapi juga pada dampak sosial dan akademik. Setiap universitas harus didorong untuk menetapkan Indikator Kinerja Utama (KPI) yang terukur untuk tujuan non-komersial, seperti persentase pendapatan yang dialokasikan kembali untuk beasiswa, peningkatan akses pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, atau investasi dalam riset murni yang tidak langsung menghasilkan keuntungan.
Pemerintah sebagai regulator harus menyusun kebijakan yang tidak hanya mendorong universitas untuk mencari dana, tetapi juga memastikan bahwa kemandirian finansial tidak mengorbankan aksesibilitas dan idealisme pendidikan. Diperlukan sistem audit dan tata kelola yang transparan dan akuntabel, di mana laporan keuangan tidak hanya menunjukkan neraca keuntungan, tetapi juga menguraikan secara rinci bagaimana pendapatan dari aktivitas enterprising digunakan untuk memperkuat misi Tridharma yang tidak berorientasi pada laba. Transformasi ini bukan tentang mengubah universitas menjadi perusahaan; ini adalah tentang memberikan universitas kekuatan finansial untuk memastikan mereka dapat terus berfungsi sebagai mesin inovasi dan pencerahan yang relevan dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Ditulis oleh : Dr. Kuncoro Hadi, S.T., M.Si., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI).
Sumber : rm.id