Ahok Tidak Mungkin Masuk Kabinet Jika Jokowi Lakukan Reshuffle, Ini Sebabnya
PORTAL JEMBER – Presiden Jokowi atau Joko Widodo tidak puas dengan kinerja sebagian menterinya. Karena itu, santer rumor bahwa Jokowi akan melakukan reshuffle kabinet dalam waktu dekat.
Sejumlah nama calon menteri baru langsung mencuat ke publik. Salah satu nama yang muncul adalah Basuki Tjahaja Purnama atau BTP (Ahok).
Saat ini Ahok menjadi komisaris Pertamina. Sebelumnya, menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Menjelang pilkada DKI Jakarta pada 2017, Ahok terjerat kasus penistaan agama.
Terkait kemungkinan Ahok masuk jajaran pembantu Jokowi di pemerintahan, pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad menjelaskan, secara hukum Ahok tak memenuhi syarat untuk menjadi seorang menteri.
“Dia (Ahok) telah divonis bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun atau lebih, maka tidak dapat menjadi menteri,” kata Suparji, Sabtu 4 Juli 2020, seperti dikutip dari WartaEkonomi.co.id melansir Republika.
Ia menjelaskan, hal tersebut diatur dalam Undang-undang 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara Pasal 22 Huruf F. Ketika itu Ahok melakukan tindakan pidana terkait penodaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 156a yang ancaman hukumannya lima tahun.
“Meski vonisnya dua tahun tapi ancaman hukumannya lima tahun maka yang bersangkutan tidak memenuhi syarat jadi menteri,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa aturan tersebut berlaku untuk semua tindak pidana yang ancaman hukumannya lima tahun. Sebab, kata Suparji, yang dilihat dari aturan terkait pengangkatan menteri adalah ancamannya, bukan vonisnya.
“Yang terpenting dia sudah bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana tersebut, soal vonis adalah masalah lain. Karena undang-undang bersifat social engineering, membuat perilaku orang jadi baik,” ungkapnya.
Suparji mengatakan, Presiden dalam menunjuk seseorang menjadi menteri harus memperhatikan aturan tersebut. Menurutnya aturan tersebut sudah imperatif limitatif dalam suatu hukum positif Undang-undang Kementerian Negara.
“Semua pihak harus mentaati UU termasuk Presiden, karena itu kontrak sosial rakyat melalui DPR RI bersama Presiden,” jelasnya.
Untuk diketahui bunyi pasal 22 Huruf F Undang-undang 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yaitu, “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.” (Redaksi WE Online/WartaEkonomi.co.id)***
Sumber
Portal Jember