Analisis Hukum Bisnis Kemenhan Keruk Dana APBN Libatkan Anggota DPR
Jakarta, law-justice.co – Di tengah pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memimpin proyek food estate seluas 178 hektar di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah. Dalam proyek ini, Prabowo akan bersinergi dengan Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, Kementerian LHK, dan Kementerian BUMN.
Proyek ini merupakan proyek pengembangan lumbung pangan nasional yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional, yang juga merupakan bagian dari cadangan logistik strategis pertahanan negara untuk mencegah kekurangan pasokan pangan dalam negeri. Proyek ini dilakukan sebagai langkah antisipatif dalam menghadapi potensi krisis pangan di tengah pandemi Covid-19 yang disampaikan oleh Food and Agriculture Organisation (FAO).
Penunjukan Kementerian Pertahanan sebagai leading sektor proyek ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi PKB Daniel Johan menilai bahwa proyek ini akan lebih efektif jika dipimpin oleh Kementerian Pertanian karena infrastruktur dan birokrasi lebih terkait mengenai pertanian.
Anggota DPR dari Fraksi Demokrat Syarief Hasan mengatakan bahwa proyek lumbung pangan ini bukan tugas pokok dan fungsi dari Kementerian Pertahanan. Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin juga menyesalkan penunjukan Prabowo ini karena proyek ini seharusnya tidak memberikan kepada Menteri yang tidak ada hubungannya tentang persoalan pangan.
Namun, penunjukan Prabowo ini juga mendapatkan respons positif dari beberapa pihak. Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali menyampaikan bahwa penunjukan Prabowo merupakan hal yang wajar karena selaras dengan tugasnya sebagai Menteri Pertahanan yang bertanggung jawab juga kepada ketahanan pangan dan yang paling memungkinkan untuk berkoordinasi dengan TNI dalam membuka lahan.
Pengamat politik Adi Prayitno mengatakan bahwa Prabowo memiliki visi dan misi dalam ketahanan pangan dan keamanan, serta menteri yang relatif total dan all out bisa bekerja di tengah pandemi ini. Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menjelaskan bahwa hal ini tidak menyalahi aturan karena Presiden memiliki wewenang untuk menugasi menterinya, sekalipun mengurusi bidang lain. Selain memiliki concern dalam pangan dan energi, menurut Refly, Prabowo juga memiliki latar belakang yang kuat sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Yang kemudian menjadi sorotan publik bukan lagi soal pro kontra penunjukan Menteri Pertahanan untuk mengurusi masalah pangan. Tetapi soal realisasi dari program tersebut yang kemudian memunculkan kontroversi karena ditemukan kejanggalan kejanggalan.
Salah satu yang dinilai sebagai kejanggalannya adalah kebijakan Kemenhan yang membentuk suatu badan atau lembaga yang bernama PT Agro Industri Nasional (Agrinas), yang berada langsung di bawah Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) Kementerian Pertahanan RI.
Dilihat dari sudut pandang manajemen dan pertanggungjawaban penyelenggara negara, keberadaan sebuah perusahaan pangan di bawah Kemenhan patut dipertanyakan. Peran, fungsi, dan tugasnya yang mirip dengan beberapa perusahaan pangan BUMN rawan tumpang tindih. Isu akuntabilitas dan transparansi menjadi krusial karena PT Agrinas berada di bawah yayasan yang seharusnya bersifat non profit.
Sementara itu, proyek Food Estate sendiri adalah program pemerintah yang dibiayai APBN sehingga masalah akan timbul karena aliran dana APBN tersebut melalui Yayasan non profit oriented, namun PT Agrinas sendiri dijalankan layaknya Perseroan yang harus profit oriented.
Apalagi jabatan-jabatan penting di PT Agrinas diisi oleh orang-orang terdekat Menhan Prabowo dan Partai Gerindra. Sebagai contoh Komisaris Utama dipegang oleh Wahyu Sakti Trenggono yang juga menjabat sebagai Wakil Menteri Pertahanan RI. Jajaran Komisaris lainnya diemban oleh Sugiono, anggota Komisi I Pertahanan DPR dari Fraksi Gerindra; Prasetyo Hadi, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra; Laks. Muda (Purn) Eko Djalmo; Mayjen (Purn) Ari Sujono; Brigjen (Purn) Surya Dharma; Letjen (Purn) Nugroho Widyotomo; Brigjen (Purn) Purwoko Bhakti; dan Sudaryono yang juga menjabat sebagai Direktur Utama Koperasi Gerindra.
Jajaran Direksi sendiri diisi oleh Rauf Purnama, Letkol (Purn) Handoko, Harryadin Mahardika, Dirgayuza Setiawan, Simon Aloysius Mantiri, Mahesa Mukhsin, dan Glory Harimas Sihombing. Sebagian besar dari mereka adalah pengurus Partai Gerindra dan tim sukses Prabowo saat kampanye Pilpres 2019.
Dengan formasi pengelolaan perusahaan seperti itu sangat dimungkinkan terjadinya konflik kepentingan yang mengarah pada praktek praktek penyalahgunaan wewenang dan berpotensi terjadinya KKN. Terbuka peluang untuk mengeruk dana APBN melalui suatu badan usaha yang dibentuk (dalam hal ini adalah PT Agrinas) yang bernaung dibawah sebuah Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) Kementerian Pertahanan RI
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah : bolehkah membentuk suatu badan usaha/ perusahaan dibawah sebuah Yayasan yang bernaung di bawah kementerian yang notabene mendapat dana APBN dan sekaligus untuk mendapatkan suatu keuntungan ?, Bagaimana larangan dan sanksi yang bisa diterapkan bagi mereka yang melanggar penyelewengan fungsi yayasan ? lantas Bagaimana sangsi hukum anggota DPR yang merangkap komisaris di yayasan milik Kementerian yang menjadi mitra kerjanya?
Pembentukan Badan Usaha
Sebagaimana dikemukakan diatas, dalam rangka melaksanakan proyek Food Estate, Kemenhan membentuk suatu badan atau lembaga yang bernama PT Agro Industri Nasional (Agrinas), yang berada langsung di bawah Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan (YKPP) Kementerian Pertahanan RI.
Secara yuridis sesuai Pasal 3 ayat (1) UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”), suatu Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha.
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan kekayaannya (penjelasan Pasal 3 ayat [1] UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan).
Dengan kata lain, ketentuan tersebut di atas menegaskan bahwa yayasan boleh mendirikan badan usaha.Mengenai jenis kegiatan usaha apa saja yang boleh dilakukan badan usaha yang didirikan Yayasan, sesuai Pasal 7 ayat (1) UU Yayasan, badan usaha tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian yayasan.
Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 8 UU Yayasan bahwa kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih jauh disebutkan dalam penjelasan Pasal 8 UU Yayasan bahwa kegiatan usaha dari badan usaha Yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Dari penjelasan Pasal 8 tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa bidang usaha yang bisa didirikan oleh Yayasan sebenarnya tidak hanya terbatas pada bidang-bidang yang telah disebutkan melainkan bisa lebih luas lagi.
Jadi, Yayasan boleh mendirikan badan usaha atau melakukan penyertaan pada suatu usaha asalkan sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan tersebut sekarang mari kita lihat maksud dan tujuan pendirian Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan disingkat YKPP tempat bernaungnya PT. Agrinas. YKPP merupakan organisasi yang bergerak dibidang Sosial Kemanusiaan dengan cara melaksanakan pengabdiannya kepada bangsa dan negara pada umumnya dan kepada prajurit TNI, Anggota Polri dan Pensiunan PNS dilingkungan Kemhan dan TNI pada khususnya.
YKPP berusaha berperan secara aktif dalam meningkatkan Kesejahteraan Pendidikan, Bantuan Sosial Pendidikan serta Bantuan Uang Muka (BUM) untuk memiliki rumah melalui fasilitas Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melalui Bank bagi prajurit TNI, Anggota Polri, PNS Kemhan dan Pensiunan PNS Kemhan, TNI dan Polri.
YKPP merupakan Penggabungan dari 3 (tiga) Yayasan dibawah ke Pembinaan Kemhan, pada awalnya Departemen Pertahanan RI yang dan saat ini menjadi Kementerian Pertahanan (Kemhan) mempunyai 3 (tiga) Yayasan, yakni Yayasan Kejuangan Panglima Besar Sudirman (YKPBS), Yayasan Satya Bhakti Pertiwi (YSBP) dan Yayasan Kesejahteraan Perumahan Prajurit TNI, Anggota Polri, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pensiunan Dephan, TNI dan Polri (YKPP).
Pada prinsipnya YKPP didirikan dengan maksud dan tujuan dibidang sosial dan kemanusiaan pada aspek aspek penyelenggaraan pendidikan Tinggi dalam bentuk pengelolaan Unversitas Pembangunan Nasional “Neteran”/UPN “Veteran” dan penyelengaraan Pendidikan Menengah dalam bentuk pengelolaan Sekolah Menengah Atas Taruna Nusantara/SMA Taruna Nusantara.
Selain itu bertujuan dibidang sosial kemanusiaan untuk spek bantuan sosial pendidikan dalam bentuk pemberian beasiswa kepada siswa/siswi pendidikan dasar dan pendidikan menengah serta pendidkan tinggi dan perumahan dalam bentuk pemberian Bantuan Uang Muka Kredit Perumahan (BUM KPR) melalui Bank bagi Prajurit TNI, Anggota Polri, PNS dan Pensiunan Kemhan, TNI, Polri.
Demikianlah tujuan daripada pendirikan YKPP yang menaungi PT. Agrinas. Sementara itu tujuan PT. Agrinas sendiri sesuai visi dan misi perusahaan adalah untuk menjalankan peran strategis mewujudkan Ketahanan Pangan, Ketahanan Energi, Ketahanan Perikanan, Bio Energi, Teknologi Pangan, dan lain-lain.
Jika kita sinkronkan dengan maksud dan tujuan pendirian YKPP dan tujuan pendirian PT. Agrinas kiranya tidak ada kesesuaian satu dengan yang lainnya. Pada hal sesuai Pasal 7 ayat (1) UU Yayasan, badan usaha yang didirikan dipersyaratkan harus sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian yayasan.
Lagi pula dilingkungan BUMN sebenarnya sudah ada beberapa perusahaan BUMN yang sudah bergerak dibidang pangan, seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), PT Sang Hyang Seri (SHS), atau PT Pertani. Mengapa tidak menggunakan perusahaan perusaaan ini yang sejak awal memang sudah bergerak disektor pangan sehinga lebih efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugas tugasnya.
Dilihat dari sudut pandang manajemen dan pertanggungjawaban penyelenggara negara, keberadaan sebuah perusahaan pangan yang baru dibentuk dibawah Kemenhan terkesan sebagai sebuah pemborosan. Karena peran, fungsi, dan tugasnya yang mirip dengan beberapa perusahaan pangan BUMN yang sudahh ada sehingga dikhawatirkan rawan tumpang tindih fungsi dan kewenangannya. Isu akuntabilitas dan transparansi menjadi krusial karena PT Agrinas berada di bawah yayasan yang seharusnya bersifat non profit.
Sementara itu, proyek Food Estate adalah program pemerintah yang dibiayai APBN sehingga masalah akan timbul karena aliran dana APBN tersebut melalui Yayasan non profit oriented, namun PT Agrinas sendiri dijalankan layaknya Perseroan yang harus profit oriented. Akan menjadi masalah serius jika belanja APBN untuk program Food Estate yang berkaitan dengan yayasan binaan Kemenhan luput dari pantauan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga pengawas lainnya.
Larangan dan Sanksi
Selain keharusan adanya kesesuaian antara tujuan pendirian Yayasan dan bidang usaha yang dikembangkan, ada beberapa larangan yang perlu diperhatikan sehingga organ-organ Yayasan tidak bisa bertindak sesukanya. Ada beberapa larangan yang harus ditaati, yaitu :
Pertama, organ-organ Yayasan tidak diperkenankan merangkap sebagai Anggota Direksi, Pengurus, Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dalam badan usaha yang didirikannya (Pasal 7 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2001).
Larangan itu masuk akal karena merupakan upaya UU untuk mengkondisikan organ-organ Yayasan agar tetap fokus pada tugasnya mengelola Yayasan. Juga mencegah terjadinya salah urus atas Yayasan dan badan usaha komersial miliknya. Sebab bila hal itu terjadi, kerugian pada badan usaha, yang pada gilirannya mengganggu kegiatan utama Yayasan sulit dicegah.
Kedua, keuntungan usaha serta kekayaan Yayasan dari sumber mana pun dilarang dibagi-bagi kepada organ-organ Yayasan. Baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini sudah ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 5 UU No. 16 jo Pasal 5 ayat (1) UU No 28 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Pengecualian atas ketentuan tersebut hanya terbatas pada ketentuan pasal 5 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2004, yaitu apabila Pengurus Yayasan melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh waktu.
Itu pun harus ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus Yayasan menerima gaji, upah, atau honorarium. Jadi, boleh tidaknya Pengurus Yayasan menerima gaji, upah atau honorarium tergantung pada ketentuan Anggaran Dasar Yayasan bersangkutan.Dari sini nampak bahwa meskipun kekayaan Yayasan makin besar, organ-organ Yayasan tidak memikili hak apa pun menggunakan kekayaan Yayasan. Secara tegas mereka dilarang mencari-cari alasan untuk menggunakan kekayaan Yayasan untuk kepentingan pribadi.
Sanksi pidana terhadap perbuatan menerima pembagian atau peralihan dari kekayaan yayasan dimaksudkan di dalam Pasal 70 ayat (1) dan (2) UU Yayasan No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 28 tahun 2004 yang isinya menegaskan “Setiap anggota organ Yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan”.
Norma larangan itu sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 5 ayat (1) UU Yayasan yang isinya menegaskan “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas.
Namun demikian, terdapat pengecualian dimana pengurus yayasan dapat memperoleh upah, gaji atau honorarium dengan syarat yakni bahwa tentang upah, gaji atau honor itu disebutkan di dalam anggaran dasar yayasan, tidak termasuk sebagai pendiri yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas, dan melaksanakan kepengurusan yayasan secara langsung dan penuh. Serta penentuan mengenai gaji, upah, atau honorarium tersebut ditetapkan oleh pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan Yayasan.
UU Yayasan menentukan yang dimaksud dengan “terafiliasi” adalah hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara horizontal maupun vertikal. Sedangkan yang dimaksud dengan “secara langsung dan penuh” adalah melaksanakan tugas kepengurusan sesuai dengan ketentuan hari dan jam kerja Yayasan bukan bekerja paruh waktu (part time).
Demikian tampak perbedaan badan usaha yang bersifat profit oriented dengan non-profit. Yayasan bersifat non-profit sehingga organ yayasan harus bisa membatasi keterkaitannya dengan pengelolaan badan usaha yayasan, organ yayasan lebih bersifat pengawasan dan mengkoordinir badan-badan usaha yang dinaungi oleh yayasan.
Dalam kondisi ideal, semua organ Yayasan seharusnya tidak menerima atau tidak mengharapkan ketuntungan material dari Yayasan. Sebagai lembaga sosial seharusnya begitu. Itulah sebabnya tidak semua orang dapat mendirikan Yayasan. Hanya mereka yang sudah berkecukupan secara ekonomi yang layak mendirikan Yayasan.
BillGate dan orang-orang kaya di dunia telah memraktekkan pendirian Yayasan yang murni untuk tujuan sosial. Dari laba usahanya, mereka selalu menyisihkan sekian persen untuk disumbangkan pada kegiatan sosial. Alih-alih diberi atau mengharapkan keuntungan material, mereka justru membayar para profesional untuk menjalankan kegiatan Yayasannya.
Yayasan-Yayasan di Indonesia, nampaknya belum ada yang seideal Yayasan Bill Gate. Kebanyakan Yayasan malahan mengharapkan adanya keuntungan dari usaha, yang selain dipakai untuk mendanai kegiatan Yayasan, juga dipakai untuk keperluan gaji, upah, atau honorarium Pendiri dan Pengurusnya. Inilah yang coba dibatasi oleh UU Yayasan.
Sebagai gantinya, UU memberikan peluang berusaha agar Yayasan mendapatkan dana bagi kelangsungan kegiatannya tanpa harus tergantung seterusnya pada sumbangan dari luar. Permasalahannya adalah bagaimana kalau peluang berusaha melalui pendirian badan usaha itu dananya digelontorkan dari uang rakyat melalui APBN ?. Apakah ada jaminan dana dana tersebut tidak digunakan untuk bancakan bagi organ Yayasan maupun pengurus bidang usaha yang didirikannya ?.
Yang menjadi permasalahan saat ini adalah sejauh mana hubungan antara pengelola PT. Agrinas dengan YKPP yang menaunginya. Apakah orang orang dekat Kemenhan yang duduk di PT. Agrinas tersebut sekaligus juga menjadi organ organ dari YKPP. Atau YKPP hanya dijadikan sebagai lembaga yang berfungsi sebagai batu loncatan belaka untuk menjembatani aliran dana APBN ke PT. Agrinas yang dikelola oleh orang orang dekat Prabowo ?. Konstruksi hubungan antara YKPP dan PT. Agrinas ini akan menenntukan aspek aspek hukumnya.
Yang jelas pelaksanaan proyek Food Estate melalui PT. Agrinas dibawah naungan YKPP ini harus diawasi supaya tidak terjadi lagi kasus kasus korupsi yang sudah terjadi sebelumnya. Sebelumnya seperti diketahui bersama proyek proyek bidang pangan yang melibatkan tentara mencatat rapot buruk karena penyelewengan penyelewengan yang terjadi didalamnya. Khusus dalam program cetak sawah dibeberapa kawasan di Indonesia.
Tanpa adanya pengawasan yang ketat dan penegakan hukum dari pihak yang berwenang, maka dana segar APBN yang masuk ke bidang usaha baru yang didirikan melalui naungan sebuah Yayasan akan menjadi sasaran empuk untuk diselewengkan.
Untuk mencegah ini terjadi maka solusinya yang pertama perlu menggunakan kelembagan usaha di BUMN yang sudah ada tanpa harus membuat bidang usaha yang baru karena hampir pasti akan lebih efisien dan terbuka. Yang kedua, pengawasan intensif dari BPK dan lembaga terkait agar uang APBN tidak diselewengkan oleh pengurus Yayasan maupun kelembagaan yang menjadi pelaksana proyeknya. Yang ketiga para penyelenggara proyek Food Estate ini patut bersyukur karena program yang mereka jalankan dibungkus dengan label dalam rangka antisipasi dampak pendemi corona.
Sebab saat ini hal hal yang berbau pelaksanaan program penanganan dampak bencana corona pelakunya terkesan kebal hukum karena diberikan kekebalan dalam pelaksanaan tugasnya. Apalagi sekarang KPK sudah lemah tak berdaya setelah revisi UU KPK .
Ditengah tengah mandulnya agenda penegakan hukum dan pandemi virus corona, rakyat hanya bisa berharap agar para penyelenggara negara yang diberikan mandat untuk menjalankan program proyek Food Estate bisa bekerja dengan jujur tanpa harus mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Melainkan tulus bekerja demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara.Semoga mereka tidak tergoda untuk menyelewengkan mandat rakyat yang diberikan kepadanya meskipun lembaga penegak hukum seperti KPK sudah tidak berdaya. Semoga masih ada sedikit iman yang menjadi cantolan idealismenya.
Anggota DPR Tak Boleh Rangkap Jabatan
Saat anggota DPR merangkap sebagai Komisaris di suatu perusahaaan atau yayasan yang berada di bawah Kementerian yang jelas-jelas mendapat dana dari APBN, sangat jelas melanggar ketentuan UU.
Apalagi seperti Sugiono yang jelas-jelas adalah Kapoksi Fraksi Gerindra di Komisi I DPR RI yang merupakan mitra kerja Kementerian Pertahanan. Bagaimana mungkin tugas pengawasan bisa dilakukannya sementara dia sendiri menjadi bagian dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh mitra yang seharusnya dia awasi dan dia juga yang mengatur besaran anggaran Kementerian tersebut.
Hal ini jelas menimbulkan dan mengungkap ada unsur potensi konflik kepentingan anggota DPR dengan bisnisnya dan melanggar penerapan Undang-Undang tentang MPR/DPR/DPD (UU MD3).
Sebenarnya, UU MD3 sudah tegas mengatur potensi konflik kepentingan melalui larangan rangkap jabatan. Tidak lagi boleh lakukan aktivitas sebagai pengacara, notaris, atau di berbagai lembaga yang bersumber dari APBN, APBD. Harusnya, rangkap jabatan ini ditindak.
Pasal 236 ayat 2, UU No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD melarang anggota DPR bekerja sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR. Sanksi dari pelanggaran itu adalah diberhentikan dari statusnya sebagai anggota DPR.
Sumber
law-justice.co