HEADLINE: Nazaruddin Bebas dan Remisi 4 Tahun, Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi?
Liputan6.com, Jakarta – Lama tak terdengar kabarnya, mantan Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat M Nazaruddin kembali menyita perhatian. Tiba-tiba saja, terpidana untuk dua kasus korupsi yang divonis hukuman penjara tujuh dan enam tahun itu dinyatakan bebas dan mulai mengikuti program cuti menjelang bebas (CMB) pada Minggu 14 Juni 2020 dari Lapas Sukamiskin, Bogor, Jawa Barat.
Padahal, jika dihitung sejak dia ditangkap pada 2011 silam, Nazar baru akan bebas pada 2024 mendatang. Alasannya, karena dia terpidana kasus korupsi, haknya untuk mendapatkan remisi dan cuti hilang.
Namun, pihak Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) menyatakan Nazar memang harus bebas karena masa hukumannya dipotong remisi selama empat tahun. Alasannya juga kuat, karena Nazar berstatus justice collaborator (JC) alias pihak yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum, dalam hal ini KPK, maka dirinya boleh diberikan remisi.
Masalahnya, pihak KPK menampik pernah memberikan status JC kepada Nazar. Hal inilah yang membuat pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Prof Dr Mudzakir heran dengan sikap KPK dihubungkan dengan perjalanan kasus Nazar di lembaga antirasuah itu.
Dia mengaku masih ingat ketika kasus yang menjerat Nazar muncul di tahun 2011 silam. Saat itu, setiap kasus korupsi yang muncul selalu melibatkan Nazar, termasuk kasus E-KTP dan perkara rektor se-Indonesia yang diungkapnya.
“Saya sampai berpikir, seandainya orangnya Nazaruddin hukumannya dipilah-pilah, bisa jadi jumlahnya ratusan tahun. Karena orang yang bekerja untuk Nazaruddin hukumannya ada yang 10 tahun atau 5 tahun, sementara dia starting point-nya hanya 4 tahun. Apa istimewanya Nazaruddin sehingga hukumannya seperti itu?” ujar Mudzakir kepada Liputan6.com, Kamis (18/6/2020).
Ketika kemudian Nazar mendapat akumulasi remisi selama 4 tahun dan mendapat CMB, sementara orang yang bekerja bersama dengannya masih berada di penjara, dia menilai KPK telah menempatkan Nazar sebagai JC, kendati lembaga itu membantahnya.
“Pertanyaan saya adalah, mengapa KPK begitu istimewa menempatkan Nazaruddin? Mengapa KPK menempatkan seolah dia mendapat JC? Walau dibantah KPK dengan menyebut hanya bekerjasama, saya tak tahu maknanya apa,” papar Mudzakir.
Dia juga mengaku pernah bertanya langsung kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) soal posisi Nazar. Dia mendapat jawaban bahwa LPSK tak pernah memberikan status JC kepada yang bersangkutan, karena yang memberikan adalah KPK.
“Tapi, begitu kasus ini (Nazar bebas) terpublikasi, KPK bilangnya Nazaruddin bekerjasama, tapi bukan JC. Kalimat itu jadi aneh, bekerjasama jadi hukumanya ringan sekali, sementara yang lain puluhan. Ini tanda tanya besar, republik ini menempatkan Nazaruddin seperti apa?” ujar Mudzakir.
Analisa lain dikemukakan pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Dia mengatakan, bukan tak mungkin Kemenkum dan HAM menganggap Nazar dalam posisi sebagai JC saat dia menjadi whistleblower (WB) dalam kasus E-KTP. WB adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu kendati dia bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkan.
“Saya memandang, mungkin ketika Nazaruddin melaporkan kasus E-KTP yang kedudukannya sebagai WB, oleh Kemenkumham dianggap sebagai JC. Karena hampir di semua tindak pidana yang terungkap Nazaruddin sebagai pelaku utama, sedangkan di kasus E-KTP dia tidak terlibat,” jelas Fickar kepada Liputan6.com, Kamis (18/6/2020).
Yang jelas, lanjut dia, tak sulit mengetahui seseorang jadi JC atau tidak. JC itu dimohonkan tersangka atau terdakwa kepada penyidik dan/atau penuntut umum. Di mana sebagai pelaku sebuah tindak pidana, namun bukan pelaku utama, dia mengakui perbuatannya dan siap bekerjasama membongkar pelaku lainnya.
“Jaksa dalam tuntutannya juga harus menyebutkan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan, sehingga orang tersebut dapat menyandang status JC,” jelas Fickar.
Sekarang tinggal mencari data, apakah dalam persidangan kasusnya Nazar pernah disebutkan jaksa menyandang status JC? Hal ini dinilai penting karena dengan diakui sebagai JC, maka hukuman yang akan dijatuhkan majelis hakim akan bisa diringankan.
“Atas jasanya, JC dapat diberi keringanan oleh hakim berupa pidana percobaan bersyarat khusus dan/atau pidana penjara paling ringan dibandingkan para terdakwa lainnya dalam perkara yang sama,” tegas Fickar.
Pendapat berbeda datang dari peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Dia mengatakan remisi yang diberikan Kemenkum dan HAM tidak tepat, karena justru kontra dengan pengakuan dari KPK yang tidak pernah memberikan status JC kepada Nazar yang kemudian jadi alasan pembenar pemberian remisi dan CMB.
“Ini kan hal yang dijadikan indikator berdasarkan PP Nomor 99 Tahun 2012 dan pada intinya ada dua poin utama. Yang pertama soal status JC, yang kedua terkait dengan temuan Ombudsman soal ruang tahanan Nazar yang lebih besar. Ini kan tidak bisa disematkan menjadi poin berkelakuan baik kepada Nazaruddin,” ujar Kurnia kepada Liputan6.com, Kamis (18/6/2020).
Dia juga merasa heran dengan perdebatan antara Kemenkum HAM, dalam hal ini Ditjen Pas dengan KPK terkait status JC Nazar. Menurut dia, Kemenkum HAM atau Ditjen Pas tidak punya otoritas untuk menentukan seseorang berstatus JC atau tidak karena tidak terkait dengan penanganan perkara.
“Yang bersentuhan langsung dengan penanganan perkara adalah penegak hukum, dalam hal ini KPK, yang tahu apakah keterangan Nazaruddin membantu untuk membongkar praktik korupsi. Jadi harusnya yang dijadikam landasan adalah KPK. Rasanya tidak usah berpolemik panjang seperti ini. Ketika ada kesalahan lebih baik diakui saja dan dianulir putusannya,” tegas Kurnia.
Apakah Kemenkum HAM tahu keterangan Nazaruddin yang mana yang membantu membongkar perkara? Itu kan domainnya penegak hukum, bukan domain mereka. Mereka sekadar menjalankan proses administrasi, menyediakan lembaga pemasyarakatan. Itu saja,” dia menandaskan.
Lantas, bagaimana harusnya regulasi terkait JC ke depan?
Kasus pemberian remisi dan Cuti Menjelang Bebas (CMB) untuk Nazaruddin memunculkan pemikiran untuk mencari solusi bagi format regulasi pemberian status JC pada seorang terpidana. Alasannya, kondisi adu argumen antrara KPK dan Kemenkum dan HAM seperti terjadi saat ini sangat tidak sehat dan tak boleh lagi terjadi.
Saat ditanyakan soal format JC ke depan, Mudzakir mengaku bukan pendukung sistem JC. Menurut dia, sistem yang dipakai sekarang terkait JC terlalu rumit dan salah kaprah.
“Saya dari awal orang yang menolak adanya JC. Alasannya, masa JC daftar ke lembaga penyidik? JC itu harusnya hanya hakim yang menilai peran-peran terdakwa dalam proses penegakan hukum. Apakah dia punya peran signifikan membuka perkara, ya hakim yang akan menilai untuk memutuskan hukuman yang lebih ringan,” ujar Mudzakir.
Jangan sampai, lanjut dia, JC menjadi semacam permainan bagi mereka yang sedang berperkara. Agar bisa mendapat status JC, seorang terdakwa kemudian mendaftar dan memberi keterangan yang memungkinkan penyidik atau jaksa membuka suatu perkara.
“Kemudian, kalau ada perbedaan keterangan antara pemegang status JC dengan non-JC, makan yang dipakai adalah keterangan JC. Sistem pembuktian perkara pidana pun jadi rusak karena menjadikan keterangan JC sebagai patokan. Lihat saja, omongan Nazaruddin selalu jadi patokan,” papar Mudzakir.
“Nazaruddin ini ini saya bilang rule of the game, karena orang-orang lain yang berperan itu selalu dianggap salah lantaran keterangan yang dianggap valid adalah dari Nazaruddin. Maka banyak orang masuk penjara karena dia, padahal mungkin peran Nazaruddin lebih kuat, sehingga status JC dapat mencederai proses penegakan hukum yang berkeadilan,” imbuh dia.
Kemudian, terkait dengan pemberian remisi, menurut dia secara prinsip harusnya berdasarkan penilaian ojektif yang dilakukan tim pembina lapas. Kalau seseorang memang terbukti berbuat baik dan membantu, menurut dia layak saja diberi remisi.
“Coba lihat kasus Nazaruddin, dalam PP diatur dia tak dapat remisi, tapi dengan alasan JC dia bisa diberi remisi, ini yang jadi masalah. Saya bisa tunjukkan orang yang hukumannya melebihi batas, yaitu Gayus Tambunan. Itu hukumannya 33 tahun, itu luar biasa karena dalam hukum pidana Indonesia tak boleh lebih dari 22 tahun. Sementara Nazaruddin hukumannya (di penjara) nggak sampai 10 tahun,” jelas Mudzakir.
Karena itu, lanjut dia, harusnya jika seorang terpidana sudah berbuat baik dan berkontribusi di dalam lapas, tak ada salahnya untuk dibebaskan lebih cepat. Langkah ini menurut dia akan membuat yang bersangkutan merasa berutang budi dan malu untuk mengulang perbuatannya. Sementara, jika dia tetap ditahan, nantinya akan menimbulkan dendam saat keluar penjara.
“Ini yang saya khawatirkan, mereka akan berpikir kalau korupsi mending yang besar sekalian, toh sama saja (hukuman) di dalamnya. Namanya juga manusia, kalau disentuh rasa kemanusiaannya pastilah akan menjadi manusia yang adil dan beradab,” Mudzakir memungkasi.
Sementara pakar hukum pidana dari Unversitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad mengatakan, penetapan masa hukuman yang harus dijalani seorang terpidana harus konsisten sejak dari putusan pengadilan hingga dia bebas.
“Untuk menjaga konsistensi itu harus ada dasar hukumnya, misalnya dalam petitum majelis hakim dapat mencantumkan bahwa vonis yang dijatuhkan harus dijalani dengan penuh atau keterangan lainnya yang tujuannya memberi kepastian akan vonis yang harus dijalani,” ujar Suparji kepada Liputan6.com, Kamis (18/6/2020).
Selain itu, lanjut dia, harus ada regulasi yang jelas dan tidak menimbulkan diskriminasi dalam pemberian remisi. UU Pemasyarakatan harus menegaskan secara tegas kriteria remisi serta perlu dibuat lembaga pengawas terhadap lapas.
“Misalnya, melihat sikap Nazaruddin yang pernah lari ke luar negeri dan praktik bisnis perusahaannya dihubungkan dengan perkara-perkara yang terungkap, tidak tepat jika dia mendapat remisi,” ujar Suparji.
Sementara terkait pemberian status JC, dia berharap mekanismenya harus jelas dengan merujuk pada lembaga yanbgf mengeluarkan.
“Mengingat bahwa JC itu berawal dari KPK, maka seharusnya yang diikuti adalah pendapat KPK. Tindakan Ditjen Pas yang tidak sesuai dengan sikap KPK hendaknya dianulir,” Suparji memungkasi.
Pendapat itu diamini akademisi dan advokat Indriyanto Seno Adji. Menurut dia, pemberian remisi adalah hak penuh dari narapidana dan ini bersifat universal sebagai bagian dari sistem peradilan pidana yang benar dan juga sebagai pelaksanaan sistem rehabilitasi pemidanaan yang lebih mengedepankan resosialisasi pelaku dalam kehidupan masyarakat yang layak.
“Sejak seorang berstatus narapidana, termasuk pelaku terorisme ataupun korupsi, maka negara harus bersikap equal terhadap rehabilitasi threatment-nya dan sama sekali tidak boleh ada diskriminasi sistem pemidanaan dan rehabilitasi tersebut,” papar Indriyanto kepada Liputan6.com, Kamis (18/6/2020).
“Remisi maupun asimilasi dan sejenisnya adalah hak penuh narapidana dalam sistem pemidanaan yang sifatnya non-derogable right (hak yang absolkut dan tak dapat dibatasi),” dia menandaskan.
Banyak sudah terpidana kasus korupsi yang bebas dan menghirup udara bebas usai menjalani masa hukuman. Demikian pula halnya dengan mantan Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Dia bebas dari Lapas Klas I Sukamiskin, Bandung pada Minggu, 14 Juni 2020.
Nazar tidak bebas murni, melainkan melalui program cuti menjelang bebas (CMB). Dia mendapatkan masa CMB selama dua bulan. Sejatinya, Nazar akan bebas murni pada 13 Agustus 2020 mendatang. Nazar juga menerima remisi sebanyak 49 bulan selama menjadi warga binaan pemasyarakatan.
Namun, bebasnya Nazar menjadi kontroversi. Dia harusnya menjalani hukuman selama 13 tahun dari akumulasi hukuman untuk dua kasus berbeda. Vonis 4 tahun 10 bulan dan denda Rp 200 juta dibebankan pada Nazaruddin pada 20 April 2012. Namun vonis itu diperberat Mahkamah Agung (MA) menjadi 7 tahun dan denda Rp 300 juta.
Tahun 2016, Nazaruddin juga didakwa mengenai gratifikasi dan pencucian uang melalui berbagai perusahaan miliknya. Dalam perkara ini Nazar divonis 6 tahun penjara. Jika diakumulasikan, hukumannya menjadi 13 tahun.
Kemudian, sebagai terpidana kasus korupsi, Nazar pun kehilangan haknya untuk mendapatkan remisi atau pengurangan masa hukuman. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyaratan.
Pasal 34A PP tersebut menyatakan:
Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi; dan
c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Dalam pandangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), Nazar memiliki hak untuk mendatkan remisi serta hak terpidana lainnya karena sudah memenuhi poin a dan b pada PP tersebut.
Kabag Humas Ditjen Pas Rika Apriyanti dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Kamis (18/6/2020) mengatakan, dalam surat keterangan dari KPK Nomor: R-2250/55/06/2014, Muhammad Nazaruddin disebut sudah menunjukkan kerja sama yang baik dalam mengungkap perkara tindak pidana korupsi.
“Surat keterangan yang dikeluarkan KPK dikategorikan sebagai Justice Collaborator (JC) sebagaimana Pasal 34A Peraturan Pemerintah (PP) 99 Tahun 2012. Status JC untuk Muhammad Nazaruddin juga ditegaskan pimpinan KPK pada 2017 dan dimuat di banyak media massa.
Dengan alasan itu, Ditjen Pas pun menganggap Nazar memiliki hak antara lain untuk mendapatkan remisi serta Cuti Menjelang Bebas (CMB).
“Nazaruddin telah membayar lunas subsider sebesar Rp 1,3 miliar dan oleh karenanya yang bersangkutan mendapat hak remisi sejak tahun 2014 sampai dengan 2019, baik remisi umum maupun remisi khusus keagamaan, dan remisi terakhir yaitu selama 2 bulan Remisi Khusus Idulfitri tahun 2020,” jelas Rika.
Namun, anggapan ini dibantah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Plt juru bicara KPK Ali Fikri tak menampik lembaganya pada 9 Juni 2014 dan 21 Juni 2017 menerbitkan surat keterangan bekerjasama untuk M Nazarudin.
Alasannya, yang bersangkutan sejak proses penyidikan, penuntutan dan di persidangan telah mengungkap perkara korupsi pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, perkara pengadaan E-KTP di Kemendagri dan perkara dengan terdakwa Anas Urbaningrum serta atas dasar M Nazaruddin telah membayar lunas denda ke kas negara.
Namun, menurut Ali, surat keterangan bekerjasama tersebut menegaskan bahwa pimpinan KPK saat itu tidak pernah menetapkan Nazarudin sebagai Justice Collaborator atau JC.
“Kami sampaikan kembali bahwa KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan JC untuk tersangka MNZ,” tegas Ali.
Ditambah lagi, lanjut dia, dua surat yang dikeluarkan KPK pada 2014 dan 2017 itu setelah kedua perkara Nazar memiliki kekuatan hukum tetap. Sementara, penetapan JC mestinya dilakukan sebelum pembacaan tuntutan dan putusan.
Alasan lain kalau status JC tak pernah dilekatkan ke Nazar, menurut Ali, KPK beberapa kali telah menolak untuk memberikan rekomendasi sebagai persyaratan asimilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat yang diajukan Ditjenpas Kemenkumham, M Nazarudin maupun penasihat hukumnya yaitu pada sekitar bulan Februari 2018, bulan Oktober 2018 dan bulan Oktober 2019.
“Oleh karenanya, KPK berharap pihak Ditjen Pemasyarakatan untuk lebih selektif dalam memberikan hak binaan terhadap napi koruptor mengingat dampak dahsyat dari korupsi yang merusak tatanan kehidupan masyarakat,” Ali menandaskan.
Jadi, siapa yang benar?
Jejak Nazaruddin
Mantan Bendahara Umum (Bendum) Muhammad Nazaruddin bebas dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I Sukamiskin, Jawa Barat, Minggu, 14 Juni 2020.
Nazaruddin tidak bebas murni, melainkan melalui program cuti menjelang bebas (CMB). Nazaruddin mendapat CMB selama dua bulan. Sejatinya, Nazaruddin bebas pada 13 Agustus 2020.
Semasa menjalani masa hukuman, Nazaruddin telah menerima remisi sebanyak 49 bulan. Remisi diberikan kepada Nazaruddin sejak 2014.
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjen Pas) menyebut, pemberian remisi diberikan lantaran Ditjen Pas menerima surat rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2014.
“Dalam Surat Keterangan dari KPK Nomor: R-2250/55/06/2014, Muhammad Nazaruddin disebut sudah menunjukkan kerja sama yang baik dalam mengungkap perkara tindak pidana korupsi,” ujar Kabag Humas dan Protokol Ditjen Pas Rika Apriyanti dalam keterangannya, Kamis (18/6/2020).
Menurut Rika, surat rekomendasi tersebut dinyatakan Ditjen Pas sebagai penyematan status JC kepada Nazaruddin. Namun, pernyataan Ditjen Pas ini disanggah oleh KPK.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyebut KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan Nazaruddin sebagai JC. Menurut Ali, status JC harusnya disematkan kepada terdakwa dan sesuai dengan ketetapan dari majeli hakim Pengadilan Tipikor.
Sementara, surat rekomendasi yang diberikan KPK pada 2014 bukan berarti menetapkan Nazaruddin sebagai JC. Sebab, saat itu hukuman Nazaruddin telah berkekuatan hukum tetap, alias inkracht.
“Kami sampaikan kembali bahwa KPK tidak pernah menerbitkan surat ketetapan JC untuk tersangka MNZ (Nazaruddin). Benar kami telah menerbitkan dua surat keterangan bekerjasama yang bersangkutan tahun 2014 dan 2017 karena telah bekerjasama pada pengungkapkan perkara. Dan perlu diingat, saat itu dua perkara MNZ telah inkracht,” kata Ali.
Buronan KPK untuk Kasus Suap Wisma Atlet
Nama Nazaruddin bukan kali ini saja menjadi perbincangan. Pada 2011 lalu, mantan bendahara umum Partai Demokrat ini telah menyita perhatian publik. Sebab, Nazaruddin yang berstatus sebagai tersangka kasus suap pembangunan Wisma Atlet Jakabaring ini menjadi buronan.
KPK pada 30 Juni 2011 menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka. Kemudian, tak berselang satu minggu usai dijerat tersangka, atau tepatnya pada 4 Juli 2011, KPK mengirim surat kepada Polri untuk memasukan nama Nazaruddin ke dalam daftar pencarian orang (DPO).
Penyematan status DPO lantaran Nazaruddin kerap mangkir dari panggilan pemeriksaan. Rupanya, saat itu dia melarikan diri ke Kolombia.
Sebelum lari ke Kolombia, Nazaruddin diketahui sempat berada di Vietnam, Singapura, hingga Argentina. Bahkan di negara Tango itu, Nazaruddin sempat diwawancarai melalui video skype. Dalam video itu, ia menyebut sejumlah orang yang turut terlibat kasus korupsi.
Kepala Bareskrim Polri kala itu, Komjen Sutarman mengatakan, Nazaruddin terus berpindah-pindah lokasi persembunyian. Hal tersebut menjadi salah satu yang menyulitkan tim membawa Nazaruddin pulang kembali ke Indonesia.
“Dia berpindah-pidah. Jadi, pada saat dia skype (dengan Iwan Piliang), kita sudah temukan tempatnya. Tapi, ternyata orangnya sudah bergerak,” kata Sutarman di Polda Metro Jaya, Sabtu 6 Agustus 2011.
Sutarman menduga, kemungkinan besar Nazaruddin menggunakan buku paspor asli, namun dengan identitas palsu. Ia mengaku belum tahu nama siapa dan negara mana yang dipakai Nazaruddin dalam paspor.
Ketika meminta bantuan pemerintah setempat, lanjut Sutarman, negara tujuan tak dapat membuktikan keaslian paspor yang dipakai Nazaruddin.
“Itu menjadi kewajiban negara yang mengeluarkan identitas palsu itu. Jadi, walaupun dia menggunakan nama orang lain, masuk ke negara itu dianggap legal. Itu menambah kesulitan,” kata dia.
Sutarman menambahkan, pihaknya sudah menempatkan anggota di beberapa negara.
“Kita juga sedang melacak dan mencari negara yang mengeluarkan identitas palsu (Nazaruddin),” ujarnya.
Upaya penjemputan paksa pun mulai disusun Polri, imigrasi, dan KPK. Komjen Sutarman mempercayakan misi ini kepada Brigjen Anas Yusuf, selaku Ketua Tim Penjemput Nazaruddin. Keberadaan Nazaruddin terlacak setelah diketahui melakukan hubungan komunikasi di wilayah Dominika (Commonwealth).
Memburu Nazaruddin ke Dominika
Setelah itu, tim dari Mabes Polri langsung terbang menuju Dominika untuk melacak dan memburu Nazaruddin lebih lanjut. Tim pemburu mantan Bendum Demokrat ini meninggalkan Jakarta menuju Dominika dengan pesawat komersial, pada 27 Juli 2011.
Tiba di Dominika, tim langsung bergabung dengan tim advance yang dipimpin Kombes Sugeng, SLO dari KBRI Washington DC. Tim kemudian melakukan koordinasi dan mengumpulkan data-data.
Dari data yang dikumpulkan, terdeteksi dua nomor telepon yang digunakan Nazaruddin saat di Dominika dalam melakukan komunikasi. Tim juga melakukan jejak rekam, dengan mengamati rekaman CCTV di Port Autority Dominika.
Dari CCTV itulah, tim semakin jelas bahwa Nazaruddin memang datang ke Dominika. Setelah ditelusuri, Nazaruddin berangkat dengan berbekal paspor atas nama Syarifuddin. Ia melarikan diri ditemani istri, Neneng Sriwahyuni serta dua temannya, Nazir Rahmat dan Eng Kiam Lim.
Nazaruddin akhirnya ditangkap oleh aparat keamanan Kolombia di kota Cartagena pada 8 Agustus 2011. Setelah itu, tim melakukan koordinasi kembali untuk mencari cara membawa Nazaruddin secepatnya ke Indonesia.
Cara ekstradisi dianggap bisa memakan waktu yang lama. Akhirnya, Nazaruddin bisa dipulangkan dengan cara eksklusi atau pengusiran.
Kemudian pada 30 November 2011, Nazaruddin menghadapi dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) pada KPK. Dia didakwa menerima suap dari proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan.
Jaksa menyebut Nazaruddin menerima suap sebesar Rp 4,6 miliar dari Marketing Manager PT Duta Graha Indah (DGI), M El Idris. Seiring berjalannya persidangan, pada 20 April 2012, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan pidana 4 tahun 10 bulan dan denda Rp 200 juta kepada Nazaruddin.
Di persidangan, Nazaruddin terbukti menerima suap sebesar Rp 4,6 miliar berupa lima lembar cek yang diserahkan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah (DGI) Mohammad El Idris kepada dua pejabat bagian keuangan Grup Permai, Yulianis dan Oktarina Fury. Cek tersebut disimpan di dalam brankas perusahaan.
Nazar juga dinilai memiliki andil membuat PT DGI menang lelang proyek senilai Rp 191 miliar di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Mahkamah Agung kemudian memperberat hukuman Nazaruddin, dari 4 tahun 10 bulan menjadi 7 tahun penjara. MA juga menambah hukuman denda untuk Nazaruddin dari Rp 200 juta menjadi Rp 300 juta.
Kasus hukum yang menimpa Nazaruddin kemudian terus berjalan. Pada 10 Desember 2015, Nazaruddin dijerat pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam perkara ini Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis pidana 6 tahun penjara kepadanya. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu juga dijatuhi hukuman denda Rp 1 miliar subsider satu tahun kurungan.
“Mengadili menyatakan terdakwa Muhammad Nazaruddin terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer, kedua primer dan dakwaan ketiga,” kata Majelis Hakim Ketua Ibnu Basuki saat amar putusan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu 15 Juni 2016 lalu.
Majelis menilai, eks kolega Anas Urbaningrum itu terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Nazaruddin dinilai terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Sumber
Line Today