Mampukah ‘Serangan Darat’ Optimalkan Kepak Sayap Puan ke Publik?
Jakarta, CNN Indonesia — Pekan lalu media sosial tiba-tiba gaduh setelah Ketua DPP PDIP yang juga Ketua DPR RI, Puan Maharani, merilis informasi kegiatan dirinya ikut menanam padi di tengah hujan di sebuah sawah wilayah DI Yogyakarta.
Pasalnya, apa yang dilakukan Puan itu–ikut menanam padi di sawah di tengah hujan–dinilai sejumlah pihak amat janggal dan sekedar untuk menampilkan pencitraan politik kepada publik. Salah satunya sindiran dari eks Menteri KKP Susi Pudjiastuti yang merespons lewat akun Twitternya, “Biasanya petani menanam padi tidak hujan hujanan.”
Namun, bukan bertanam di sawah saat hujan saja yang dilakoni Puan saat berada di DIY pekan lalu. Melihat akun twitter terverifikasi miliknya, putri dari Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri itu pun terlihat aktif melakukan kunjungan setelah memimpin Rapat Paripurna DPR pada Senin, 8 November 2021.
Masih di Yogyakarta, pada 11 November 2021, Puan mengunjungi sekolah dasar di Godean, Sleman, DIY. Dia, yang dalam kunjungannya didampingi Bupati Sleman Kustini serta Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa itu sempat memborong sajian angkringan dari pedagang lansia sebelum meninjau posyandu di dekat situ.
Sehari setelahnya giliran Banyuwangi, Jawa Timur, yang disambangi Puan. Di sana dia terlihat bertemu dengan masyarakat nelayan. Seperti halnya di DIY, di Banyuwangi pun Puan menyoroti sawah di Desa Banjar, Kecamatan Licin.
Melihat apa yang dikerjakan Puan beberapa waktu terakhir tersebut, pengamat menilainya itu menjadi upaya pula sebagai bagian dari komunikasi politik untuk meningkatkan elektabilitas jelang pemilu 2024. Apalagi elektabilitas Puan sejauh ini belum terkerek meskipun telah menggencarkan strategi baliho dengan pesan yang salah satunya berisi: Kepak Sayap Kebhinekaan.
Diketahui, Puan sejauh ini kerap muncul sebagai salah satu nama yang digadang-gadang bakal ikut bertarung dalam Pilpres 2024.
“Oleh karena itu Puan dan timnya mempertajam dan memperkuat serangan darat itu melalui blusukan, ketemu petani, memborong jualan orang-orang UMKM kalau misalkan ikut Jokowi,” kata Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Jakarta, Ujang Komarudin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (15/11).
Di sisi lain, Ujang pun mengamini bahwa strategi baliho–yang juga dilakukan sejumlah politikus lain–kontraproduktif karena dilakukan di tengah pandemi sehingga tidak mengerek elektabilitas.
Sebagai informasi, Berdasarkan survei Indikator yang dirilis Agustus lalu, strategi baliho ‘Kepak Sayap Kebhinekaan’ Puan Maharani belum mampu mendongkrak elektabilitas. Kala itu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan baliho-baliho Puan kurang mampu membawa dampak positif, kecuali bagi popularitas. Ia menyebut Ketua DPP PDIP itu semakin populer, tapi tingkat kesukaan publik justru menurun.
Di satu sisi, menanggapi ‘serangan darat’ Puan yang baru-baru ini dilakoni, Ujang menilai itu hal yang biasa dan tidak ada sesuatu yang baru. Aksi semacam itu, kata dia, sudah dilakukan para calon presiden dan wakil presiden sejak pemilihan langsung dilakukan pada 2004 silam. Di sisi lain, kata Ujang, masyarakat pun sudah pintar untuk tindakan Puan berjibaku dengan lumpur sawah merupakan pencitraan atau bukan.
“Masyarakat sudah paham sudah tahu bahwa ini pencitraan, sudah menebak karena yang dilakukannya itu ada keinginan dia untuk bisa jadi capres dan cawapres itu, bukan alamiah tidak ada maksud apa-apa kan gitu,” ujar penulis buku Ideologi Partai Politik: Antara Kepentingan Partai dan Wong Cilik.
Sementara, pencitraan yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kebiasaan justru akan menjadi lelucon. Oleh karena itu, aksi Puan menanam padi di tengah hujan justru dikritik yang salah satunya dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Meski demikian, kata Ujang, suka atau tidak, menenggelamkan kakinya ke lumpur sawah mesti dilakukan anak mantan Presiden Megawati Soekarnoputri itu karena tidak ada cara lain.
Menurut Ujang, semestinya Puan mencari momentum pencitraan yang tepat sehingga tidak mengundang kritik masyarakat.
“Pencitraan yang berlebihan, yang tidak sesuai dengan kebiasaan itu juga akan menjadi lelucon,” terang Ujang.
Sumber