skip to Main Content
Manuver Oposisi Di Era Omnibus Law: Pragmatis Dan Tak Gigih

Manuver Oposisi di Era Omnibus Law: Pragmatis dan Tak Gigih

Jakarta, CNN Indonesia — Perlawanan partai oposisi atau yang berada di luar pemerintahan terhadap perundangan yang tak memihak masyarakat dinilai bak dagelan. Pasalnya, ada inkonsistensi sikap dalam pembahasan di DPR dan kurang totalnya gerakan perlawanan.
Pada Senin (5/10), DPR mengesahkan rancangan undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) di tengah gelombang penolakan publik. Koalisi pendukung Presiden Joko Widodo di parlemen kembali menundukkan oposisi tanpa perlawanan berarti.

Hanya Fraksi PKS dan Fraksi partai Demokrat yang menyatakan menolak RUU itu. Memang, sejak Jokowi mengusulkan RUU itu kedua fraksi paling berisik menyatakan penolakan.

Meski begitu, dua partai itu sempat menarik diri dari Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja. Alasannya ialah sedang pandemi Covid-19, ingin fokus membantu rakyat. Namun, keduanya kembali masuk ke Panja; PKS pada bulan Mei, Demokrat pada Agustus.

Di saat PKS dan Demokrat menarik diri dari Panja, Partai Golkar sebagai kekuatan utama pendukung RUU Cipta Kerja bermanuver dengan menggelar safari politik ke berbagai kekuatan politik dengan dipimpin Ketua Umum-nya, Airlangga Hartarto.

Tercatat, Golkar menemui Ketum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Ketum Gerindra Prabowo Subianto, dan Presiden PKS Sohibul Iman. Tak ketinggalan, mereka juga menemui para ulama di PP Muhammadiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Saat pembahasan perundangan di Dewan, PKS dan Demokrat juga tak banyak mengubah RUU Cipta Kerja, apalagi mendesak pencabutan.

Baru pada rapat pengambilan keputusan di Badan Legislasi DPR, dua fraksi itu bersuara lantang menolak. Di Rapat Paripurna DPR, PKS dan Demokrat kembali menyatakan penolakan. Partai berlogo Mercy itu menambahkan bumbu walkout.

Hal itu tak berdampak banyak pada nasib RUU Cipta Kerja yang tetap disahkan.

Hal yang senada juga terjadi pada pembahasan perundanga kontroversial lain. Misalnya, Revisi UU KPK yang ditolak publik hingga berujung aksi besar-besaran.

Partai di luar pemerintah di penghujung periode pertama Jokowi, yakni Partai Gerindra, PKS, dan Partai Demokrat, tak menolak draf tersebut meski nyaring di media massa. Mereka dalam pembahasan di Dewan hanya memberi sejumlah catatan dalam dukungannya terhadap UU KPK.

Kejadian berulang di pembahasan RUU Minerba tahun ini. RUU yang sempat ditunda pengesahannya pada 2019 itu, tiba-tiba dibahas dan dibawa ke Rapat Paripurna DPR.

Di periode kedua Jokowi, ada tiga fraksi yang berada di luar pemerintah, yakni Partai Demokrat, PKS, dan PAN. Namun soal RUU Minerba, hanya Demokrat yang menolak. RUU itu pun sah sebagai undang-undang.

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menyebut pembicaraan sejumlah RUU kontroversial itu jadi bukti betapa lemahnya oposisi di Indonesia. Alih-alih menyampaikan solusi alternatif, oposisi justru sibuk dengan akrobat politik.

“Paling celaka UU KPK, semua fraksi menyetujui. Itu sebenarnya oposisi-koalisi betul-betul dagelan. Kalau tidak ada check and balances akan abuse of power (penyalahgunaan wewenang),” kata Ujang kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).

Ujang menilai ada dua faktor yang menyebabkan oposisi melempem. Pertama, kekuatan koalisi Jokowi terlalu besar. Sebanyak 427 kursi DPR atau 74,3 persen suara di DPR mendukung Jokowi.

Alasan kedua, partai opisisi tak berlandaskan pada ideologi yang jelas. Partai-partai di Indonesia, kata dia, dibangun berdasarkan pragmatisme.

“Lihat saja dulu Gerindra menghajar Jokowi habis-habisan, sekarang membela habis-habisan. Bukan berdasarkan ideologi, tapi pragmatisme. Ini yang sedang terjadi di negeri kocak ini,” tuturnya.

Turun ke Jalan

Dihubungi terpisah, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai partai oposisi saat ini tak punya konsep yang jelas.

“Hanya mengatakan menolak tanpa terlihat ada upaya gigih untuk memastikan sikap mereka itu bukan hanya sekadar sikap politik, hanya lips service saja,” tutur Lucius kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/10).

Lucius membandingkan dengan pembagian peran pemerintah-oposisi di era SBY. Saat itu, kata dia, oposisi berhasil memainkan peran penting karena melebur dengan gerakan masyarakat.

Oposisi saat ini tidak ikut turun ke jalan bersama gelombang massa yang menolak. Lucius menyebut mereka hanya sibuk bergaya menolak dalam rapat-rapat di parlemen.

“Oposisi di DPR bergerak sendiri, publik bergerak sendiri. Keterpecahan seperti ini yang disukai oleh koalisi pemerintah karena itu artinya tekanan pada mereka biasa saja,” tandas Lucius.

Pengesahan UU Ciptaker kini telah memantik gelombang protes di seantero negeri. Elemen buruh, mahasiswa, dan aktivis berunjuk rasa memprotes aturan yang dinilai merugikan rakyat dan kelas pekerja tersebut.

Sumber
CNN Indonesia

Back To Top