Momentum Kesadaran
Oleh:
Fokky Fuad Wasitaatmadja
Covid-19 menjadikan banyak negara menghentikan hubungan sosialnya dengan negara lain untuk beberapa saat. Semua energi dan pikiran, juga dana tercurah untuk mengatasi pandemi Covid-19 ini, tidak terkecuali Indonesia. Semua sumber daya dialihkan ke dalam dan bukan ke luar. Masing-masing negara tengah melihat ke dalam dirinya sendiri, memikirkan dirinya sendiri, dan untuk sementara mengurangi perhatian mereka terhadap permasalahan negara lain.
Pada saat ini untuk sementara waktu setiap negara tengah terkurung pada ruang geografisnya masing-masing. Sesungguhnya pada saat inilah titik kebangkitan Indonesia sebagai sebuah bangsa yang menegara serta berdaulat atas segala sumber dayanya juga kehendaknya.
Indonesia sebagai sebuah bangsa bangkit dengan memanfaatkan momentum Covid-19 ini. Indonesia harus berani mandiri menjejak di atas kaki sendiri, memproduksi segala kebutuhan secara mandiri. Indonesia memiliki sumber daya yang sangat memadai sebagai modal kebangkitan. Segala hal harus kita produksi sendiri mulai saat ini, mulai kebutuhan persenjataan militer hingga kebutuhan rumah tangga. Ini adalah momentum tepat untuk bangkit dan kembali pada jati diri keindonesiaan kita.
Buya Hamka pernah berujar:
“Bersatu bangsaku menyeru Tuhan, memohon Tanah Air memperoleh jaya. Terdengar adzan di puncak menara, hayya alal fallah, marilah bersama-sama mengejar kemanangan. Aku bersama bermiliun bangsaku pergi ke sana, mencecahkan dahi ke lantai, menyembah Tuhan. Sehabis shalat kumohon pada Tuhan agar tanah airku diberkati.”
Bung Karno pernah melakukannya puluhan tahun lalu, beliau mengungkapkan ide kekuatan Asia-Afrika yang merdeka dari penjajahan eksploitasi asing melalui Konferensi Asia-Afrika yang menggemparkan dunia barat dan timur. Banyak negara yang berhasil merdeka sejak saat itu. Kini merupakan kesempatan emas bagi Indonesia untuk jauh lebih berperan mengeluarkan taringnya dalam percaturan global.
Pancasila dan Kebangkitan Indonesia
Pancasila adalah modal falsafah dan idelogi. Dia menyusun bagaimana ranah idealita sebagai bangsa yang besar. Pancasila kita letakkan sebagai landasan konstruksi kebangkitan kembali. Memantapkan relasi manusia berTuhan sebagai daya gerak ideologis. Pada saat yang sama juga mengembangkan relasi humanis manusia yang penuh keadaban.
Dua hal di atas adalah bentuk pencerminan nilai Sila Ketuhanan dan Kemanusiaan yang penuh keadaban. Dia adalah ontologi manusia Indonesia. Sebuah penanaman atas kesadaran manusia insan kamil. Manusia yang sempurna yang selalu menyadari bahwa kekuatan berasal dari Tuhan sebagai sebuah kekuatan agung dan ia dayagunakan untuk memperlakukan manusia lainnya secara penuh keadaban.
Syaikh Nawawi al Bantani berujar:
“Maqam tertinggi dalam tingkatan iman adalah saat seseorang dimabuk cinta dengan Allah, tetapi ia semakin beradab dengan makhlukNya”.
Dalam proses kebangkitan nasional ini maka kita meyakini bahwa kemandirian kita bukan anti modal asing. Apapun kekuatan asing khususnya modal yang hadir tidaklah berkarakter eksploitatif melainkan membahagiakan, mensejahterakan, juga memberadabkan sesama manusia karena tujuan berbangsa kelak akan dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan dan rakyat Indonesia.
Secara ontologis kebangkitan Indonesia berpijak pada gagasan manusia sempurna yang diarahkan dengan mengendalikan, mendayagunakan segenap kemampuan dirinya sendiri dengan penuh keadaban.
Secara epistemologis metode yang dilakukan adalah kesadaran akan arti penting nilai persatuan anak bangsanya, tidak lagi ada pembelahan, dan saling curiga diantara sesama anak bangsa. Kesadaran akan arti dan nilai persatuan di antara sesama anak bangsa sangat diperlukan untuk membendung segala potensi ancaman yang dapat menghancurkan keutuhan bangsa itu sendiri.
Kesadaran akan kondisi kesejarahan kita sebagai bangsa yang pernah tercabik oleh adanya eksploitasi penjajahan sejak era VOC, Portugis, Inggeris, Hindia Belanda, hingga Jepang. Kesadaran akan masih adanya potensi ancaman eksploitasi dalam bentuk apapun terhadap bangsa Indonesia di tengah berkecamuknya ketidakstabilan wilayah Laut Cina Selatan dan amukan badai Covid-19 menyadarkan kita bahwa kita mampu melalui ini semua dengan keyakinan kuat kepada Tuhan serta dijiwai rasa kebersamaan dan kegotongroyongan.
Dalam epistemologi persatuan, maka setiap anak bangsa dalam beragam suku, etnis, budaya, religi, bahkan profesi baik sipil dan militer akan mengedepankan gagasan klasik Nusantara yaitu musyawarah yang penuh hikmah. Musyawarah yang selalu mengutamakan hikmah atau pemahaman dibandingkan nafsu serta ego. Saatnya kita mengesampingkan ego akibat beragam perbedaan, baik pandangan politik maupun ego sektoral hingga semangat kedaerahan.
Pada keadaan badai Covid-19 kita harus menyadari adanya persatuan dan kecerdasan akal fikir untuk melihat beragam potensi yang akan membahayakan bangsa ini. Perlu adanya strategi yang cerdas untuk menghadapi hempasan gelombang ancaman bangsa baik dengan hadirnyaCovid-19 maupun adanya peningkatan ketegangan di kawasan Laut Cina Selatan yang berpotensi menarik Indonesia ke dalam pusaran konflik tersebut.
Kesadaran atas kondisi geopolitik dalam memandang kondisi dinamika ruang hidup bersama di sekitar kita maupun kesadaran geostrategis melalui penciptaan manusia Indonesia yang unggul, juga kesadaran epistemologis di atas akan mengarah pada sebuah deontologi di ujung pencapaian: penciptaan sebuah Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia itu sendiri.(*)
Penulis adalah Dosen Tetap Program Magister Hukum Universitas Al Azhar Indonesia
Anggota Forum Internalisasi Nilai-nilai Kebangsaan (Fornika)
Alumni Tot Lemhannas RI
Sumber
CorpsNews