Pengamat: Serangan Pribadi ke Giring Konsekuensi PSI Kritik Anies
Jakarta, IDN Times – Serangan yang kerap diluncurkan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan Ketua Umumnya, Giring Ganesha Djumaryo, terhadap sosok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya menyebabkan munculnya serangan terhadap pribadi Giring. Belakangan, terungkap fakta Giring drop out (DO) dua kali dari Universitas Paramadina, Jakarta Selatan.
Uniknya, kampus yang berlokasi di Jalan Jenderal Gatot Subroto itu pernah dipimpin Anies Baswedan. Berdasarkan informasi yang disampaikan Direktur Kerja Sama Pemasaran Hubungan Alumni Universitas Paramadina, Kurniawaty Yusuf, Giring tercatat pernah menjadi mahasiswa program studi hubungan internasional.
“Giring masuk di tahun 2002 lalu di-DO 2011. Kemudian, ia masuk lagi di tahun 2017 dan di-DO pada 2021,” ujar Kurniawaty kepada media pada 29 Desember 2021.
Ia juga menyebut publik bisa memeriksa sendiri status pendidikan Giring di situs pddikti.kemendikbud.go.id. “Jadi, (Giring) dua kali daftar dan dua kali di-DO,” tuturnya.
PSI sempat memberikan pembelaan melalui juru bicaranya, Ariyo Bimmo. Ia mengaku heran mengapa status Giring yang di-DO dari Universitas Paramadina malah dibesar-besarkan.
Ariyo pun menilai seharusnya pernyataan Giring dibalas secara proporsional. Ia justru mempertanyakan apakah tidak boleh sosok seperti Giring yang maju menjadi calon pemimpin bagi Indonesia meski tidak punya gelar sarjana.
“Tidak selalu ada korelasi antara pendidikan dengan kepemimpinan. Bila benchmark-nya adalah negara demokrasi lain, maka John F. Kennedy juga tidak selesai sekolahnya,” kata dia membela Giring.
Ia menjelaskan pilihan-pilihan yang ditempuh Giring adalah langkah biasa yang ditempuh anak muda. Ariyo kemudian membandingkan Giring dengan CEO Meta, Mark Zuckerberg, dan CEO Microsoft, Bill Gates.
“Mark Zuckerberg yang meupakan salah satu orang terkaya di dunia saja pernah DO. Bill Gates juga pernah kena DO. Tidak ada yang bilang Zuckerberg dan Gates bodoh. Tapi, mereka punya prioritas dalam periode di hidupnya,” tutur Ariyo.
Tetapi, Ariyo tak menjelaskan akhirnya Zuckerberg kembali ke Universitas Harvard lantaran menerima gelar doktor kehormatan di bidang hukum pada 2017. Gelar serupa juga diboyong oleh Gates pada 2007.
Apa komentar Giring soal sorotan publik terhadap rekam jejak pendidikannya? Pentingkah bagi capres memiliki titel pendidikan tinggi untuk memimpin Indonesia?
1. Giring mengaku terpaksa tinggalkan kampus karena tak ingin repotkan sang ibu
Sementara, di akun Instagramnya, Giring mengaku dihadapkan pada dua pilihan sulit yakni melanjutkan mimpi di dunia musik atau terus melanjutkan pendidikannya. Saat itu, Giring masih tergabung di band Nidji dan menjadi vokalis. Ia memutuskan untuk keluar dari Nidji dan terjun di dunia politik pada 2017.
“Kemudian saya memilih untuk membangun mimpi dan karier saya di dunia musik bersama Nidji. Dunia musik adalah passion saya dan saya tidak mau merepotkan ibu saya yang single parent,” ujar Giring di akun media sosialnya dan diunggah pada 29 Desember 2021.
“Cita-cita saya ketika itu sederhana saja, karena saya ingin mandiri (secara finansial) dan tidak ingin merepotkan ibu saya yang single parent. Saya ingin ibu saya bahagia. Saya hanya ingin mewujudkan mimpi Beliau naik haji bersama,” katanya.
Ia juga menepis pernah bertemu Anies saat masih menempuh studi di Universitas Paramadina. Ia menyebut ketika terdaftar sebagai mahasiswa, Universitas Paramadina dipimpin Nurcholish Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur.
“Ketika Cak Nur wafat, saya bahkan sempat mengantarkan Beliau ke pemakaman,” tutur dia.
2. Serangan personal yang diterima Giring merupakan konsekuensi kerap kritik Anies Baswedan
Perkara serangan personal yang diterima oleh Giring bermula ketika menyampaikan pidato saat HUT Ketujuh PSI pada 22 Desember 2021. Di dalam pidatonya yang disampaikan di hadapan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Giring dengan tegas menyampaikan masa depan Indonesia akan suram bila calon pemimpin yang terpilih seorang pembohong dan pernah dipecat Jokowi dari kabinet.
Seolah suatu kebetulan, Giring tiga bulan lalu tegas menyebut Anies seorang pembohong. Gubernur DKI Jakarta itu juga pernah kena reshuffle dari kabinet Jokowi di periode pertama.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai serangan personal yang dialami Giring saat ini tak lepas merupakan konsekuensi kritiknya yang kerap dilontarkan terhadap Anies.
“Ini kan Giring yang mulai lebih dulu. Sudah beberapa kali menyerang Anies dan pasti akan mendapatkan reaksi. Reaksinya sudah pasti lebih keras dibandingkan apa yang Giring lakukan,” ujar Ujang ketika dihubungi IDN Times pada 31 Desember 2021.
Menurutnya, Giring dan PSI menggunakan strategi dengan menjelek-jelekan lawan politiknya, salah satunya Anies. Hal tersebut, dalam pandangannya malah membuat politik Indonesia tidak sehat dan gaduh. Sebab, hanya fokus kepada strategi saling serang.
Ujang menyayangkan strategi serupa ikut dilakukan PSI. Padahal, di awal kemunculannya pada 2014, PSI yang selalu mencitrakan diri sebagai partai anak muda kerap ingin membuat suatu terobosan.
“Tapi, kan sekarang kesannya anak mudanya hanya jualan. Alhasil, banyak kader PSI yang memilih mengundurkan diri. Salah satunya adalah Ketua PSI Kabupaten Karawang, Rhomdoni,” katanya.
Rhomdoni disebut memilih mundur karena kecewa terhadap kepemimpinan DPP PSI. Ia melihat PSI tidak lagi identik dengan partai anak muda. “Jadi, tidak ada ideologi yang dibawa. Ramai di atas sedangkan di bawahnya keropos,” tutur Ujang.
3. Ujang usulkan pendidikan bagi capres minimal sarjana, bukan SMA
Ujang menambahkan penting bagi siapa pun yang hendak maju sebagai capres di 2024 memiliki pendidikan yang mumpuni. Apalagi di abad millennium seperti sekarang, idealnya pendidikan minimum capres seharusnya ditingkatkan menjadi S1 atau sarjana. Kenaikan kriteria pendidikan itu sudah tertuang di dalam RUU Pemilu.
Sementara, di dalam aturan sebelumnya, capres minimal mengantongi pendidikan formal setingkat SMA. Dengan aturan serupa, maka Megawati Soekarnoputri bisa lolos mengikuti beberapa kali Pilpres.
“Dulu Bu Mega (bisa maju) karena dia adalah ketua umum partai besar dan menjadi tokoh yang ditekan oleh Orde Baru. Makanya, UU-nya ketika itu tidak menetapkan pendidikan minimum capres harus S1, tetapi minimal SMA. Karena kalau dinaikkan, otomatis kan Bu Mega tidak lolos (seleksi),” tutur Ujang blak-blakan.
Lebih lanjut, bila Indonesia ingin lebih maju lagi dan bersaing dengan bangsa lain, idealnya capres memiliki pendidikan minimal S1. Ia menambahkan, kondisi di lapangan, banyak individu yang sudah meraih gelar master namun masih menganggur.
“Kenapa? Karena mayoritas mereka tidak ahli di bidangnya. Apalagi bila capres hanya punya gelar SMA, ya Indonesia makin ketinggalan,” katanya.
Sementara, bila dibandingkan dari segi kemampuan antara Anies yang meraih gelar doktor dengan Giring yang di-DO, dinilai Ujang sangat jauh.
“Anies dengan Giring sudah jelas beda kelas bila dilihat dari rekam jejak pendidikan ya. Meskipun tidak selalu menjamin orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi bisa lebih sukses,” kata dia.
Sumber