skip to Main Content
Kegalauan Sang Pendidik Teknokrat

Kegalauan Sang Pendidik Teknokrat

Pendidikan merupakan hal strategis yang fundamental dan utama dalam menyiapkan generasi emas pada 2045. Apabila tidak disiapkan dari sekarang, bonus demografi tidak akan membawa manfaat yang signifikan. Pasalnya, menghadapi era Indonesia emas 2045, generasi muda Indonesia harus menjadi sumber daya manusia (SDM) yang siap menjadi motor penggerak produktivitas bangsa.

Tantangannya, jika melihat kenyataan saat ini, harapan di atas seperti agak sulit dicapai kalau kita masih menggunakan pola pikir as usual. Hal tersebut juga yang menjadi kegalauan Dr. Ary Syahriar, DIC, Wakil Rektor IV bidang Inovasi, Kewirausahaan dan Pengembangan, sekaligus Dosen Universitas Al Azhar Indonesia (UAI).mDalam wawancara dengan Majalah IABA, dia menampilkan fakta-fakta bahwa rendahnya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) di tanah air yang mau melanjutkan studi ke
program studi eksakta (sains dan teknologi) sehingga berdampak kepada kemampuan mengembangkan inovasi di Indonesia masih terbilang rendah. Kita lebih suka membeli dan menggunakan teknologi dari mancanegara tanpa mau mengembangkan teknologi itu sendiri untuk menggerakkan roda industri dalam negeri.

“Saat ini kerap digembargemborkan bahwa Indonesia mempunyai keuntungan demografi karena berlimpahnya generasi muda atau angkatan kerja. Selain itu, di tahun 2045, Indonesia diprediksi menjadi salah satu dari empat negara yang menjadi kekuatan ekonomi dunia. Indonesia akan berada di peringkat keempat di bawah Tiongkok, Amerika Serikat, dan India.”

“Bila melihat data di kuartal kedua tahun 2020, berdasarkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), maka Indonesia berada di peringkat ke-15 dalam kumpulan negara-negara G20. Kita termasuk dalam kategori negara kaya, tapi inovasi kita adalah yang terendah dari seluruh anggota G20. Sementara tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil sangat
ditentukan oleh inovasi bangsa itu sendiri,” tutur Ary mengawali perbincangan. Merujuk data Indeks Inovasi Global atau Global Innovation Index (GII) Indonesia berada di rangking ke-85 dari 131 negara di dunia.

Sehingga, Indonesia tidak masuk ke dalam daftar 10 negara terbaik di Asia. Negara yang masuk dalam 10 besar, antara lain Singapura (peringkat 8), Korea Selatan (10), Hong Kong (11), Tiongkok (14), Jepang (16), Australia (23), Selandia Baru (26), Malaysia (33), Vietnam (42), dan Thailand (44).

Keterbatasan SDM

“Kini pertanyaannya, bagaimana Indonesia bisa menjadi salah satu negara super power ekonomi pada tahun 2045 dengan kondisi sumber daya manusia seperti sekarang. Jawabannya, kembali kepada pola pendidikan. Dalam pendidikan generasi muda, kita perlu siapkan mereka agar dapat menjadi motor peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi dengan pengusaan ilmu pengetahuan serta teknologi (Iptek). Sayang, saya lihat
gap-nya masih tinggi sehingga perlu kita pikirkan bersama.”

“Membangun pendidikan di tanah air jelas memerlukan effort yang luar biasa. Kita mesti tahu, kita mau mendidik generasi muda ini menjadi apa. Berbeda dengan negara-negara lain, di Indonesia, lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang berminat ke ilmu eksakta hanya berkisar 15 persen saja. Mayoritas lulusan SMA lebih memilih ilmu-ilmu noneksakta,” kata ayah dari empat anak ini.

Oleh sebab itu, menurutnya, tak heran bila Indonesia kesulitan membuat inovasi di bidang Iptek karena keterbatasan sumber daya manusia (SDM). Apalagi lulusan SMA juga kian sedikit yang mau mempelajari hardcore engineering yang terdiri dari mechanicalengineering,electrical engineering, civil engineering serta bidang ilmu murni seperti fisika, matematika dan kimia. Alasannya, semua program studi tersebut sulit.

Padahal sebuah negara menjadi kuat bila basic science-nya juga kuat. Apalagi Indonesia membutuhkan sekitar 150 ribu lulusan science and engineering per tahun yang diperlukan untuk membangun industri di tanah air.

“Guna menghasilkan generasi muda yang mencintai science dan mampu menghasilkan inovasi, mesti dibentuk dari kanak-kanak. Dari pendidikan dasar mereka harus diperkenalkan dan dibiasakan dengan hal-hal yang berkaitan dengan teknologi dan ilmu pengetahuan lewat literasi science, seperti program Science for All-nya Amerika Serikat ” paparnya.

Masalah Industri di Indonesia

Ary juga menilai, persoalan inovasi dan industri di Indonesia karena kita itu selalu mengejar apa yang dikerjakan orang lain. “Orang bikin mobil, kita bikin mobil. Orang buat pesawat, kita buat pesawat. Apa yang tengah menjadi tren di dunia, maka kita juga ingin buat. Padahal tren dunia yang timbul saat ini adalah hasil kerja keras penelitian dan pengembangan teknologi puluhan tahun sebelumnya.”

“Kita terlalu fokus pada industri manufaktur, walaupun industri manufaktur memang yang memberikan daya ungkit yang tinggi bagi ekonomi Indonesia, namun kita agak lalai bahwa untuk bisa bersaing dengan baik maka inovasi dan industri Indonesia harus berbasis pada sumber daya alamnya sendiri,” papar Ary.

Ia menilai, industri manufaktur besar di dalam negeri merupakan hasil investasi asing. Kondisi ini kerap kali diikuti dengan kebutuhan akan bahan baku yang tidak diserap dari produksi dalan negeri, melainkan negara lain. Contoh, industri manufaktur otomotif di Indonesia dikuasai 90 persen oleh Jepang. Begitu juga ketika Tiongkok membangun industri manufaktur di Indonesia, bahan baku didatangkan dari sana sehingga mereka dapat memainkan harga.

“Lantas bagaimana agar inovasi Indonesia bisa berkembang? Inovasi kita mesti berbasis pada sumber daya alam yang kita miliki sendiri.Indonesia memiliki kekayaan alam dengan biodiversitas terbesar kedua di dunia. Belanda dulu datang ke Indonesia karena mengejar rempahrempah hasil bumi Indonesia yang terbaik di dunia dan yang sangat mereka butuhkan untuk industri mereka.”

“Tanaman kunyit, kopi, karet, jahe, rumput laut, hingga berbagai rempah-rempah bisa diolah lewat teknologi sehingga memiliki nilai ekonomi lebih tinggi ketimbang dijual dalam bentuk bahan mentah. Jika bahan dasarnya dari tanah Indonesia sendiri dan kita olah dengan teknologi yang kita kembangkan sendiri, kita dapat menghasilkan produk dengan modal dasar yang murah, sehingga produk kita bisa bersaing di pasaran komersial”

“Selain itu kita punya keunggulan panorama alam, seni, budaya, dan kuliner yang begitu beragam serta menarik untuk digarap menjadi industri pariwisata yang mumpuni di zaman milennial ini, apalagi jika dipermudah dengan akses teknologi. Inovasi di sektor ini masih terbuka lebar untuk dieksplorasi dan dikembangkan. Kalau kita jejer dari Sabang sampai Merauke, kita bisa klaim bahwa Indonesia adalah negara dengan penjaja makanan terpanjang dengan variasi jenis terbanyak di dunia, setiap daerah punya jenis makanan yang berbeda dan enak sekali.”

“Sayangnya, pemerintah belum melihat sektor ini sebagai sumber inovasi bangsa serta mengembangkan inovasi dan industri berbasis sumber daya alam. Inovasi tidak musti berteknologi tinggi, tongsis untuk membayar jalan tol itupun sebuah inovasi. Sebuah produk dikatakan masuk kategori inovasi kalau produk tersebut dapat meningkatkan produktivitas serta menghasilkan uang.”

“Kalau belum meningkatkan produktivitas dan menghasilkan uang maka produk tersebut hanya masuk kategori invensi (temuan) saja. Saat ini, jujur saja, sebenarnya kita belum memiliki industri yang mandiri yang mumpuni. Pasalnya, kita lebih suka membeli teknologi dari luar negeri ketimbang menciptakannya,” pungkas Ary.

Sumber : IABA

Selengkapknya : 

Back To Top