skip to Main Content
Konflik ICW-Moeldoko: Masyarakat Punya Hak Materiil Awasi Pemerintah

Konflik ICW-Moeldoko: Masyarakat Punya Hak Materiil Awasi Pemerintah

Ancaman gugatan pidana terhadap Indonesia Corruption Watch (ICW) oleh pihak Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terkait dugaan telah memanfaatkan pengadaan obat Ivermectin untuk keuntungan pribadi dinilai tidak tepat. Pakar hukum tata negara mengatakan bahwa penelitian ICW masih terlalu prematur untuk dibawa ke ranah hukum.

Suparji Ahmad, dosen dan pakar hukum pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia mengatakan bahwa Moeldoko tidak perlu melaporkan ICW ke polisi.

“Saya kira masih prematur jika membawa hasil penelitian ke ranah hukum. Karena sifatnya penelitian, maka cukup dibalas dengan data dan fakta dari pihak yang keberatan,” kata Suparji kepada DW Indonesia.

Menurut Suparji, ICW dan anggota masyarakat sipil lainnya berhak melakukan penelitian untuk mengawasi pejabat publik, termasuk memberi saran, masukan dan rekomendasi agar para pejabat publik memperbaiki kinerjanya.

“Secara formal, fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah dimandatkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi, secara materiil, masyarakat, termasuk LSM, memiliki hak mengetahui kinerja pemerintah. Apalagi di era sekarang, partisipasi mereka (dalam mengawasi pemerintah) sangat diperlukan,” kata Suparji.

Senada dengan Suparji, Bivitri Susanti, dosen dan pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, mengatakan bahwa sebenarnya Moeldoko cukup menyampaikan klarifikasi baik secara lisan atau tulisan untuk membantah dugaan ICW.

“Kalau memang ada yang perlu diklarifikasi, silakan diklarifikasi secara publik, misalnya melalui debat terbuka secara daring atau juga dalam webinar,” kata Bivitri kepada DW Indonesia.

Bivitri mengingatkan Moeldoko bahwa sebagai organisasi masyarakat, ICW memiliki peran mengawasi pejabat publik dan menyampaikan dugaan-dugaan penyimpangan mereka lakukan kepada masyarakat.

Di dalam publikasi laporan dan penelitiannya, ICW telah memaparkan bukti-bukti yang menjadi dasar dugaannya, dan oleh karena itu, pengacara Moeldoko tidak perlu lagi menuntut ICW melakukan pembuktian, ujar Bvitri.

Penelitian perlu dilakukan secara objektif
Suparji berharap Moeldoko mengedepankan pendekatan dialogis dan komunikatif untuk menyelesaikan konfliknya dengan ICW. Ia pun khawatir ancaman pemidanaan terhadap ICW berdampak negatif kepada masyarakat.

“Ketika orang menyampaikan pendapat dan hasil riset, dan kemudian dipidana, orang-orang akan menjadi ketakutan. Mereka jadi tidak berani bicara. Akibatnya, tidak ada check and balances dan demokrasi, secara substantif, menjadi tidak jalan. Secara prosedural, demokrasi mungkin tetap jalan. Tetapi, kita ingin demokrasi bisa berjalan secara substantif. Maksudnya, demokrasi yang bisa menyelesaikan semua persoalan secara materiil, bukan secara formal,” katanya.

Suparji pun berharap bahwa kasus ini bisa menjadi pengingat bagi siapa saja, termasuk LSM, agar melakukan penelitian dengan lebih berhati-hati.

“Penelitian harus dilakukan dengan lebih berimbang dan proporsional dan data-data yang diambil lebih objektif agar tidak menimbulkan polemik,” kata Suparji. “Jangan hanya memancing kontroversi dan menimbulkan kegaduhan saja. Kita harus berpikir secara solutif saat ini.”

ICW tengah mengkaji surat somasi Moeldoko
Pada Selasa (03/08) ICW mengakui telah menerima surat somasi dari Moeldoko dan mengatakan tengah mengkaji poin-poin keberatan dalam surat somasi itu.

Kurnia Ramadhana, juru bicara ICW, dalam siaran tertulisnya menyatakan bahwa penelitian ICW yang dipersoalkan Moeldoko adalah bagian dari cara ICW mengawasi pejabat publik dalam menjalankan roda pemerintahan.

Di dalam penelitian itu, ICW menduga bahwa Moeldoko memiliki kedekatan dengan Haryoseno, pemilik PT Harsen Laboratories, perusahaan farmasi yang memproduksi Ivermectin, dan Sofia Koswara, wakil presiden PT Harsen. Menurut ICW, produksi dan distribusi 4,5 juta dosis Ivermectin ini berpotensi dimanfaatkan untuk mencari untung di tengah wabah COVID-19.

Menanggapi publikasi penelitian tersebut, pengacara Moeldoko yakni Otto Hasibuan, seperti dikutip dari Detiknews pada Kamis 29 Juli 2021, telah meminta ICW untuk membuktikan dugaannya. Ia juga ingin agar ICW meminta maaf secara terbuka melalui media cetak dan elektronik karena telah memfitnah dan mencemarkan nama baik kliennya.

Jika diabaikan, ia mengatakan akan menggugat ICW secara pidana dengan Pasal 27 ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang pencemaran nama baik

Organisasi masyarakat sesalkan ancaman pemakaian UU ITE
Sekitar 109 lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Moeldoko untuk mengurungkan niatnya. Bagi Koalisi Masyarakat Sipil, somasi dari Moeldoko terhadap ICW adalah bentuk pembungkaman kritik yang dilakukan pejabat publik terhadap masyarakat.

Muhammad Isnur dari Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan kepada DW Indonesia bahwa adalah hal yang lazim bagi organisasi masyarakat sipil untuk memastikan tata kelola pemerintahan berjalan bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, salah satunya dengan cara mengkritik. Namun dengan melaporkan kritik ke polisi, pemerintah menunjukkan bahwa dirinya antikritik, kata Isnur.

Sementara Nenden Sekar Arum, Ketua Divisi Kebebasan Berpendapat Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), menyayangkan penggunaan pasal 27 ayat 3 UU ITE karena ini justru kontradiktif dengan komitmen Presiden Joko Widodo yang ingin merevisinya.

“Sedikit-sedikit dibawa ke ranah hukum. Sedikit-sedikit dipakai pasal karet UU ITE. Itu kelihatan banget pola dan motifnya bahwa (pemerintah) seolah-olah ingin membungkam orang-orang yang sedang membeberkan fakta untuk mengkritiknya,” kata Nenden kepada DW Indonesia. (ae)

Sumber

tempo

Back To Top