skip to Main Content
Rudi Pradisetia Sudirdja (Dosen FH UAI), Raih Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Antar Jaksa Se-Indonesia

Rudi Pradisetia Sudirdja (Dosen FH UAI), Raih Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Antar Jaksa Se-Indonesia

Dalam rangka memperingati Hari Bakti Adhyaksa ke-61 Tahun 2021, Kejaksaan RI menyelenggarakan kegiatan Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional. Kegiatan tersebut diikuti oleh para Jaksa dan pegawai Kejaksaan dari berbagai satuan kerja di seluruh Indonesia, baik Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, maupun Kejaksaan Agung. Topik yang harus ditulis peserta tentang: “Membangun Integritas Penegak Hukum Demi Tercapainya Kejaksaan Maju Berwibawa Sebagai Wujud Membangun Bangsa”. Penilaian karya tulis dilakukan oleh dewan juri dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung. Penilaian dilakukan secara objektif, transparan dan akuntabel. Pemaparan para finalis pun dapat disaksikan oleh masyarakat umum melalui kanal Youtube Kejaksaan RI.

Berdasarkan hasil penilaian tim juri terhadap karya tulis dan presentasi, Sdr. Rudi Pradisetia Sudirdja, Dosen Tidak Tetap Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, yang saat ini bertugas sebagai Jaksa Fungsional pada Asisten Khusus Jaksa Agung, yang sedang ditugaskan di Komisi Kejaksaan ditetapkan sebagai Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat Nasional Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2021.

Jaksa Rudi membuat karya tulis dengan judul: “Integritas dan Profesi Jaksa dalam Perspektif Hukum Internasional (Mencegah Korupsi di Lingkungan Kejaksaan RI)”. Karya tulis menggagas langkah-langkah yang harus dilakukan Kejaksaan untuk mencegah korupsi oleh oknum Jaksa dalam pelaksanaan tugas dan wewenang. Menurut Rudi, membangun sistem pencegahan korupsi oleh aparat penegak hukum merupakan amanat United Nations Convention against Corruption, yang telah di ratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Pasal 7 UNCAC menyebutkan bahwa Negara pihak harus mengambil langkah-langkah untuk memperkuat integritas untuk mencegah korupsi di lingkungan anggota peradilan (termasuk jaksa). Belum lagi berbagai instrumen internasional telah ditetapkan oleh International Association of Prosecutors yang menekankan pentingnya jaksa menjaga integritas khususnya menjauhkan diri dari perilaku koruptif.

Untuk meningkatkan integritas, jaksa Rudi mengusulkan beberapa hal. Pertama, Kejaksaan harus menetapkan secara resmi “Tokoh Integritas Nasional Kejaksaan”. Menurutnya, penetapan tokoh ini penting karena dalam ilmu psikologi pada hakikatnya manusia butuh figur anutan. Manusia belajar dari perilaku manusia yang lain. Oleh karenanya, untuk mencegah peniruan terhadap perilaku koruptif, perlu ditebarkan nilai-nilai positif dari tokoh-tokoh berintegritas kepada segenap insan Adhyaksa. Menurut Rudi, Baharuddin Lopa adalah figur yang layak untuk ditetapkan sebagai tokoh integritas nasional tersebut. Pak Lopa adalah sosok jaksa yang memberikan teladan integritas sesungguhnya. Rudi pun mengusulkan agar kisah-kisah baik Pak Lopa turut dijadikan satu Mata Diklat khusus dalam Pelatihan dan Pembentukan Jaksa.

Kedua, perlu di dorong penguatan independensi dan akuntabilitas dari personal Jaksa. Menurut Rudi, Jaksa harus diperkenankan membuat pendapat berbeda (dissenting opinion) maupun alasan berbeda (concurring opinion) dalam penentuan pasal maupun penentuan besaran tuntutan pidana, apabila ada jaksa yang berbeda pendapat dengan pendapat mayoritas dalam sebuah Tim. Pendapat berbeda itu memang tidak masuk dalam dokumen persidangan, karena jaksa terikat oleh asas Jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan (een on deelbaar). Namun, setidaknya pendapat berbeda itu dapat dicatatkan dalam dokumen-dokumen penanganan perkara yang berlaku secara internal di kejaksaan. Pendapat berbeda itu dapat melindungi jaksa yang berintegritas, manakala di kemudian hari ternyata terjadi praktik korupsi dalam penanganan suatu kasus. Jaksa yang baik tentu harus dibebaskan dari tanggung jawab menanggung dosa yang dilakukan oleh jaksa yang tidak baik, walaupun mereka ada dalam satu tim yang sama. Menurut Rudi, pendapat berbeda itu nantinya dapat menjadi bahan penilaian dari pimpinan bahwa jaksa tersebut tidak terlibat dalam praktik tercela.

Ketiga, institusi harus memberikan perlindungan terhadap jaksa-jaksa yang berintegritas. Kejaksaan sebenarnya telah memperkenankan para Jaksa untuk menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum. Ketentuan itu secara tegas dirumuskan dalam Pasal 8 ayat (2) Kode Perilaku Jaksa. Aturan itu pun mengamanatkan bahwa kepada Jaksa yang menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum diberikan perlindungan hukum. Namun, bentuk perlindungan hukum yang bagaimana belum dijelaskan oleh Kode Perilaku tersebut. Oleh karenanya, perlu disusun mekanisme perlindungan hukum yang jelas guna memberikan perlindungan bagi jaksa-jaksa yang ingin tegak lurus memengang integritas, tanpa takut mendapat ancaman atau intimidasi.

Back To Top