skip to Main Content
Ulama Menjadi Garda Terdepan Menyuarakan Kebenaran

Ulama Menjadi Garda Terdepan Menyuarakan Kebenaran

ZONATIMES.COM, Opini – MUI sebagai presentasi ulama di tanah air merupakan lembaga independen yang mewadahi para ulama, zuama, dan cendikiawan Islam untuk membimbing, membina, dan mengayomi umat Islam di Indonesia. MUI sendiri berdiri pada tanggal 26 Juli 1975, di Jakarta. Sejak didirikan sudah beberapa kali terjadi pergantian pengurus.

Akhir tahun 2020 pucuk pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berganti kembali. Kepengurusan MUI dipilih oleh tim formatur yang berasal dari pimpinan MUI, sejumlah Ketua MUI wilayah, unsur ormas, perguruan tinggi hingga pesantren. Tim formatur menetapkan Miftachul Akhyar sebagai ketua umum MUI periode 2020-2025.

Seperti dilansir dari CNN Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode kepengurusan 2020-2025 resmi diumumkan, Rabu (26/11) malam. Sejumlah nama baru muncul menggantikan wajah lama. Misalnya, nama Din Syamsuddin dan sejumlah ulama identik yang dikaitkan dengan Aksi 212 terdepak dari kepengurusan. Nama Din digeser Ma’ruf Amin. Wakil Presiden RI itu kini mengemban jabatan Ketua Dewan Pertimbangan MUI.

Dari susunan kepengurusan yang dibuka ke publik, selain nama Din yang hilang, raib juga nama mantan bendahara Yusuf Muhammad Martak, mantan wasekjen Tengku Zulkarnain, dan mantan sekretaris Wantim Bachtiar Nasir. Keempatnya dikenal sebagai tokoh yang keras mengkritik pemerintah. Din aktif di Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), dan tiga nama terakhir merupakan pentolan Aksi 212.

Menanggapi kepengurusan MUI yang baru terbentuk ini melalui CNN Indonesia, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, yang memiliki ruang lingkup tugas bidang keagamaan, Ace Hasan Syadzily menyatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan organisasi politik. Hal itu disampaikannya merespons menghilangnya sejumlah nama ulama yang kritis terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dari kepengurusan MUI periode 2020-2025, seperti Din Syamsuddin, Bachtiar Nasir, Yusuf Martak, dan Tengku Zulkarnain (27/11).

Masih menurut Ace Hasan, MUI merupakan tempat ormas-ormas Islam berhimpun tanpa tujuan politik tertentu. Lebih lanjut, Ace berharap kepengurusan yang baru bisa mengedepankan Islam yang moderat. MUI juga bisa terus mengedepankan washatiyatul Islam atau Islam moderat. Islam yang rahmah dan ramah, bukan yang marah.

Tanggapan Berbeda disampaikan pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin yang menilai dominasi dan kekuatan Ma’ruf Amin di MUI sangat kentara. Membuka dugaan kuat campur tangan pemerintah di payung besar para ulama tersebut. “Bisa dikatakan ada semacam campur tangan karena Ma’ruf Amin kan wapres. Tentu pemerintah ingin majelis ulama dalam kendali. Sehingga kekritisannya akan hilang dan bisa dikendalikan,” ujar Ujang kepada CNNIndonesia.com, Jumat (27/11).

Menurut Ujang, seperti diketahui, kurang lebih dua tahun sejak Ma’ruf ikut dalam politik kekuasaan. Akhir 2018, ia mencalonkan diri sebagai wakil presiden bersama petahana Joko Widodo. Saat itu, ia sedang memegang jabatan sebagai Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI. Jabatan di PBNU ia tinggalkan, tapi tidak dengan jabatan di MUI. Ma’ruf, dalam Munas MUI tahun ini, memimpin Tim Formatur yang terdiri dadi 17 ulama. Tim ini berwenang menentukan siapa saja yang akan berada di pucuk pimpinan MUI, termasuk ketua umum MUI. Ujang berpendapat skenario ini mirip seperti yang terjadi di DPR RI. Kubu pemerintah merangkul sebanyak-banyaknya rekan koalisi dan menyingkirkan yang bernada sumbang.

Ujang mengatakan MUI sangat strategis bagi pemerintah. Sebab ormas ini mengumpulkan berbagai ormas Islam dalam satu wadah. Sementara pemerintah punya masalah dengan kelompok Islam kanan yang diorkestrasi Habib Rizieq Shihab. Dengan menggandeng MUI, kata dia, posisi pemerintah tentu akan jadi lebih aman.

Hal senanda juga disampaikan peneliti politik LIPI Siti Zuhro yang menilai ada upaya penyeragaman suara di MUI. Ia membandingkannya dengan cara pemerintah Orde Baru dalam merangkul kelompok-kelompok masyarakat. Siti melihat ada upaya kubu pendukung pemerintah untuk menyamakan suara di kalangan masyarakat. Salah satunya di MUI. Siti menyebutnya sebagai state coorporatism.

Ia berpendapat seharusnya kelompok-kelompok yang berbeda pandangan tidak didepak dari kepengurusan MUI. Ia menjelaskan MUI dibentuk untuk mewadahi berbagai ormas Islam. Meski begitu, Siti menilai upaya menyingkirkan suara sumbang di MUI bukan kemenangan mutlak kubu pendukung pemerintah. Siti mengingatkan Indonesia tidak hanya ditentukan oleh elite.

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Persatuan Alumni 212 Novel Bamukmin, dia menduga ada campur tangan pemerintah dalam menyusun struktur kepengurusan MUI periode 2020-2025. Dugaan itu didasari oleh keberadaan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang saat ini terpilih sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI dalam Munas X.

Selain itu, Novel mengatakan dugaan tersebut juga terlihat dari sejumlah ulama yang selama ini berseberangan dengan pemerintah, kini tidak lagi berada dalam jajaran kepengurusan MUI. Menurut Novel, sampai MUI pun mereka (pemerintah) obok-obok, padahal setelah reformasi MUI sudah sangat dipercaya sama umat.

Ya, peta perpolitikan saat ini memang banyak mengundang polemik dikalangan umat. Melihat sepak terjang rezim hari ini, maka tak wajar dan sangat beralasan ketika umat memiliki pandangan seperti para pengamat di atas. Fakta terpampang nyata ketika rakyat, ormas ataupun ulama yang tak sejalan dengan apa maunya rezim maka akan di pinggirkan. Yang lebih di sayangkan jika ada ulama kritis dengan berbagai kebijakan para tuan puan, maka bisa saja akan dipersekusi atau dikriminalisasikan.

Maka sangat disayangkan jika MUI sendiri sebagai organisasi independen, malah di setir oleh berbagai kepentingan dan malah akan meligitimasi berbagai kebijakan dari rezim yang tidak sejalan dengan Islam, zalim terhadap umat atau keberadaan MUI malah akan mendukung Islam moderat dan meminggirkan perjuangan penegakkan Islam.

Tentu semua berharap dan merindukan adanya ulama-ulama yang menjadikan akhirat sebagai sebagai tujuan, menjadikan dunia hanya sebagai “kuda tunggangan”, bukan sebaliknya.

Semua rindu ulama yang hanya takut kepada Allah, tidak pernah takut kepada selain-Nya, walaupun seorang penguasa dunia; Ulama yang senantiasa berada di posisi terdepan menentang segala bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa.

Sejatinya ulama yang lantang dalam menyuarakan kebenaran dan keras perlawanannya terhadap kezaliman, adalah ulama hanif yang harus dimuliakan. Ulama adalah pewaris Nabi. Mereka sejatinya merupakan perpanjangan tangan Rasulullah Saw. dalam menyebarkan dakwah Islam ke seluruh alam. Sehingga memuliakan dan mengikuti dakwah para ulama lurus, hakikatnya merupakan manifestasi memuliakan Rasulullah Saw. dan ajarannya.

Dikutip dari berbagai sumber literatur, kisah teladan ulama-ulama akhirat yang berani menyuarakan al-Haq meski di hadapan penguasa zalim. Seperti ulama Hasan al-Bashri ialah salah seorang di antara ulama akhirat yang begitu besar rasa takutnya kepada Allah. Beliau berani menentang penguasa Hijaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, penguasa Irak yang zalim di zamannya. Ia berani mengungkap keburukan perilaku penguasa tersebut di hadapan rakyat dan menyampaikan kebenaran di hadapannya.

Ucapan beliau yang sangat terkenal, “Sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian dari para pemilik ilmu untuk menjelaskan ilmu yang dimilikinya kepada manusia dan tidak menyembunyikannya.” Sebab keberaniannya, menjadikan beliau menanggung penderitaan.

Abu Hanifah juga pernah menolak jabatan yang ditawarkan Abu Ja’far al-Manshur dan menolak uang 10.000 dirham yang akan diberikan kepadanya. Kemudian ia ditanya seseorang, “Apa yang Anda berikan kepada keluarga Anda, padahal Anda telah berkeluarga?” Beliau menjawab, “Keluargaku kuserahkan kepada Allah. Sebulan aku cukup hidup dengan dua dirham saja.”

Luar biasa keteguhan Abu Hanifah, tidak menjual ilmunya dan kepercayaan umat padanya senilai 10.000 dirham. Karena Allah dan Rasul-Nya punya nilai yang begitu amat besar baginya.

Dalam hadis riwayat Dailami, dari Umar bin Khaththab, Nabi Saw. bersabda, “Sungguh Allah mencintai penguasa yang mendatangi ulama. Dia membenci jika ulama yang mendekati penguasa. Sebab, ketika ulama mendekati penguasa, maka yang diinginkannya urusan dunia. Bila penguasa yang mendekati ulama, maka yang diinginkannya urusan akhirat.”

Menurut Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan kriteria ulama pewaris para Nabi. Ciri-cirinya antara lain, pertama, memiliki keimanan yang kokoh, ketakwaan yang tinggi, berjiwa istikamah, dan konsisten terhadap kebenaran.

Kedua, memiliki sifat-sifat kerasulan, jujur, amanah, cerdas, dan menyampaikan kebenaran. Ketiga, Faqih fi ad-Din sampai rasikhun fi al-Ilm.

Keempat, mengenal situasi dan kondisi masyarakat. Kelima, mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah SWT.

Dan saat ini, kita dapat temukan sebagian ulama yang memiliki ciri-ciri yang demikian. Mereka tabah dan sabar menghadapi segala macam tantangan dan halangan demi memperjuangkan Islam dan umatnya, bukan demi membela kepentingan pribadi, pimpinan, atau kelompoknya.

Mereka selalu menegakkan kewajiban dan mencegah kemungkaran. Tidak menyembunyikan apalagi memutarbalikkan syariat Islam.

Karena mereka memahami dengan baik firman Allah SWT, : “Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang berbuat zalim, yang dapat mengakibatkan kalian disentuh api neraka.” (QS Hud [11] : 113)

Ibnu Juraij menyatakan dalam tafsirnya bahwa kata “la tarkanu” berarti jangan cenderung kepadanya. Qatadah menyebutkan, jangan bermesraan dan jangan menaatinya. Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti jangan meridai perbuatan-perbuatannya.

Demikianlah, harusnya ulama sebagai pewaris nabi. Maka berharap keberadaan MUI ke depan akan tetap menjadi ulama akhirat dan sebagai garda terdepan dalam menyuarakan kebenaran dan menentang kezaliman.

Wallahu alam bis showab

Sumber
ZONATIMES

Back To Top