skip to Main Content
Putra Papua Jadi Korban Cyber Bullying, Rasisme Di Indonesia Makin Liar!

Putra Papua Jadi Korban Cyber Bullying, Rasisme di Indonesia Makin Liar!

JAKARTA, REQnews – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berhak memblokir media dan akun pelaku serangan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan ujaran kebencian.

“Sebagai tahap awal, (Kemenkominfo) dapat memberi peringatan,” kata Pakar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Suparji Ahmad, saat dihubungi REQNews, Minggu 24 Januari 2021.

Serangan kebencian SARA dialami Natalius Pigai, mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), berkaitan kritiknya kepada pemerintah di media sosial (medsos). Ambroncius Nababan, pelaku serangan, adalah ketua relawan Pro Jokowi-Amin (Projamin).

Itu menimbulkan kemarahan netizen, yang memaksa Ambroncius menghapus cuitannya. Namun, persoalan tidak selesai dengan penghapusan karena di belakang Pigai terdapat jutaan orang Papua yang tersinggung.

Bukan kali pertama Pigai mendapat serangan rasis di medsos. Sebelumnya, putra Papua itu mengalami serangan seorang buzzer terkenal dan seorang tokoh nasional.

Menurut Suparji, pernyataan saling menyindir di media sosial, apalagi dilakukan tokoh publik, bukan opini yang baik bagi masyarakat. “Muatannya tidak mencerdaskan dan menginspirasi,” katanya.

Narasi yang diungkapkan di media sosial, masih menurut Suparji, seharusnya tidak bersifat menghakimi satu dengan yang lain. Siapa pun yang tampil di publik, hendaknya memproduksi opini untuk kepentingan publik.

Senada dengan Suparji, pakar komunikasi politik Emrus Sihombing mengatakan ada tiga fungsi berwacana di ruang publik. “Pertama, to educate. Yaitu mendidik masyarakat,” katanya.

Kedua, kata dia, to inform. Artinya, memberikan informasi untuk mengurangi ketidakpastian. “Ketiga, to entertain, atau menyenangkan masyarakat, membuat orang tertawa, tersenyum, tenang, dan bahagia,” katanya.

Mengenai kasus serangan rasis yang dialami Pigai, Emrus mengatakan jika ada pihak yang keberatan, bisa diselesaikan dengan jalan musyawarah. Jika tidak bisa, tempuh jalur hukum.

“Ketika bicara rasis, saya kira salah satu dari dua jalan penyelesaian harus ditempuh,” katanya. “Sebab, rasis itu relatif dan wacana itu bisa semakin liar.”

Menurutnya, tidak boleh ada superioritas kelompok. Atau, kelompok tertentu lebih superior dan memandang rendah kelompok lain.

“Jangan gunakan stereotip. Jangan gunakan kacamata kita untuk melihat orang lain,” ujar Emrus.

Emrus menyarankan pengguna media sosial berhati-hati mempublikasikan sesuatu di ruang publik. Ada adab berkomunikasi di ruang publik, dengan tidak menggunakan diksi yang bikin orang tak nyaman.

“Kritik pemerintah, atau orang, boleh saja tapi jangan bikin orang lain tak nyaman,” Emrus menasehati. “Kritiklah pandangannya, kebijakannya, dan programnya, sesuai etika.”

Jika ada kesalahan, atau kritik yang disampaikan menimbulkan orang lain tersinggung, secepatnya minta maaf. Sebab, lanjutnya, tidak ada yang sempurna.

Sumber

Reqnews.com

Back To Top