skip to Main Content
PK Jaksa Soal Cessie Bank Bali Kasus Djoko Tjandra Dinilai Inkonstitusional

PK Jaksa soal cessie Bank Bali kasus Djoko Tjandra dinilai inkonstitusional

Sumber: Warta Kota | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Tindakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kasus Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra kepada Mahkamah Agung pada tanggal 3 September 2008 silam dinilai Praktisi hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad inkonstitusional.

“Karena yang punya hak PK berdasarkan pasal 263 KUHAP adalah terpidana atau keluarga ahli warisnya tidak ada dasar hukum bahwa jaksa PK yang ada hanya yurisprudensi,” kata Suparji dalam siaran tertulis pada Rabu (29/7/2020).

Suparji menjelaskan, secara filosofis jaksa sebagai alat negara diberikan untuk membuktikan dugaan tindak pidana dalam sidang tingkat I banding dan kasasi.

“Kalau jaksa bisa PK maka tidak ada kepastian hukum karena setiap saat orang yang sudah bebas atau lepas dapat dituntut melalui PK Jaksa. Hal ini jelas bertentangan dengan nilai keadilan,” tandas Suparji.

PK yang diajukan oleh JPU dinilainya bertentangan dengan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, ‘Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung’.

Tidak hanya itu, PK oleh JPU dijelaskannya melanggar dua hal. Pertama, PK tidak dapat diajukan terhadap putusan lepas dari tuntutan hukum dan Jaksa tidak dapat menjadi pemohon PK.

“Jika merujuk kepada asas legalitas dalam fungsi nagatif yang terkandung dalam Pasal 3 KUHAP, maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP bermakna bahwa Jaksa dilarang mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum. Namun dua hal tersebut dilanggar oleh Jaksa,” jelasnya.

PK Justru Dikabulkan

Namun lanjutnya, PK yang diajukan oleh JPU diterima dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tertanggal 11 Juni 2009.

Amar putusan Peninjauan Kembali itu sendiri berbunyi mengabulkan permohonan PK oleh JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta.

Bunyi amar juga menyebutkan bahwa PK membatalkan putusan Mahkamah Agung RI no. 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 156/Pid.B/2000/ PN.Jak.Sel. tangggal 28 Agustus 2000.

Putusan Mahkamah Agung katanya telah bertentangan dengan Pasal 266 ayat (3) KUHAP yang berbunyi, ‘Pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula’.

Dalam putusan Kasasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Terdakwa JST dilepas dari segala tuntutan hukum (onstlag van rechtsvervolging), sedangkan dalam putusan PK, Terdakwa JST dihukum pidana penjara selama 2 tahun.

Hal ini berarti bahwa putusan PK yang diajukan oleh JPU melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula, dan dengan demikian Putusan PK no. 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 melanggar Pasal 266 ayat (3) KUHAP.

Sumber
Kontan

Back To Top